Ibrahim; Valerie

919 165 30
                                    

Gue masih inget tentang sebuah ilmu yang tercantum di buku paket pendidikan agama islam sekolah dasar dulu, bahwa sebenernya manusia adalah ciptaan yang paling sempurna. Gue cukup bangga dengan itu. Nggak berhenti-hentinya gue selalu mengucap syukur karena sempat dipercaya untuk menjadi umat-Nya.

Nggak cuma itu, gue juga inget kalo tiap insan yang lahir dan hidup di dunia selalu memiliki sebuah perbedaan. Entah itu signifikan atau enggak. Gue cukup banyak mengalami perbedaan-perbedaan selama dua puluh tahun hidup. Tapi gue seneng, karena gue bisa belajar gimana cara saling menghargai dan melengkapi.

Karena nyatanya sebuah perbedaan itu ada untuk dipahami, bukan untuk perbandingan belaka.

Berat banget ya bahasa gue?

Gue juga kaget kenapa bisa ngomong gitu.

"Baim! Korannya jangan lupa." Teriak seorang cewek yang berlari terburu-buru ke arah gue sambil menggenggam dua lembar kertas koran.

"Astaghfirullah, lupa. Makasih ya." Gue mengambil koran itu dan dia hanya mengangguk sambil tersenyum lucu, lalu berlari kembali ke arah mobil yang sebelumnya gue tumpangi.

Sesederhana itu, gue bahagia.

Dia jelas tau kalo gue adalah pribadi yang suka banget dateng telat pas sholat jumat, maklum, gue bukan orang yang setia menunggu khotbah. Karena menurut gue, yang wajib adalah sholatnya. Dan dia jelas tau, kalo gue pasti nggak pernah dapet tempat sholat di dalem masjid, jadi dia selalu menyediakan koran di dalem mobil, buat jaga-jaga kalo di teras masjid nggak ada karpetnya.

Kok kayaknya nggak enak nyebutnya pake 'dia', jadi gue akan ngenalin lo kepada pacar gue, Valerie.

Gue sama Valerie udah pacaran cukup lama, setahun lebih lah ya. Vale adalah sosok perempuan yang baik, pinter, cantik, dan suka nggak ketebak jalan pikirannya.

"Le, gue kasih tips biar lo nggak jomblo lagi, mau nggak?"

"Hah, ada gitu, Im? Bagi dong."

"Tipsnya adalah, lo jadian aja sama gue."

"TIPS MACAM APA ITU GOBLOK GAK GUNA HAHAHA YA GUE MAU LAH ANJIR."

Masih teringat jelas di benak gue betapa lucunya wajah Vale waktu itu. Setelah ngegas nggak jelas, mukanya langsung memerah dan kabur ninggalin gue. Iya, tiba-tiba pergi gitu aja. Kampret emang si Vale. Eh tapi nggak lama, ada temen gue dateng dan langsung nanya, "Im, itu si Vale ngapa dah teriak-teriak di toilet? Macem anak perawan yang liat dua garis merah di testpack aja."

Se-lucu itu.

Setelah menjalankan sholat jumat dan mendengarkan ceramah pendek, gue pun balik ke mobil dan menemukan Vale yang lagi asyik nyeruput es kelapa muda di warung pinggir jalan yang tertutup setengah. "Le."

"Eh, Baim. Aduh, maaf ya nggak maksud godain."

"Emangnya aku anak sd yang baru belajar puasa apa?" Gue terkekeh pelan, lalu masuk ke mobil yang nggak lama diikutin Vale.

"Jadi ke gramed nggak, Le?"

"Jadi dong, Im." Vale menjawab tanpa menatap gue, dia lagi sibuk pasang seatbelt. "Bibel aku ketinggalan di rumah eyang soalnya."

Setelah mengiyakan jawaban Vale, gue akhirnya tancep gas menuju tempat yang dimaksud.

Memang, banyak perbedaan yang terjadi di antara gue dan Vale. Gue kuliah di jurusan teknik sipil, dia jurusan ekonomi bisnis. Gue suka nasi goreng, dia suka mie goreng. Gue suka film action, dia suka film horor. Gue suka musik hiphop, dia suka musik jazz. Dan masih banyak lagi.

SHEET OF SIN; MONSTA XTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang