Izan; Tujuan

641 130 26
                                    

warning!

part terakhir ini mungkin sedikit sensitif karena menampilkan tulisan yang mengangkat hal beragama. jadi jika kurang nyaman, bisa langsung dilewati. tolong jangan di salty-in, saya juga manusia biasa.

•••••

Pernah sekali gue membaca kesimpulan dari pola pikir orang awam; bahwa tujuan hidup itu sangat penting bagi semua orang. Lo udah harus bisa memikirkan bakal jadi apa saat dewasa, seperti sekolah, kerja, menikah, dan hidup bahagia selamanya. Karena dasarnya tujuan itu adalah penentu langkah hidup lo kelak.

Pun sama halnya kayak gue. Tujuan hidup gue mutlak, udah terorganisir rapi dalam arsip ingatan. Kalo mau ada yang dirubah dikit, tinggal buka loker nomor berapa yang mau dituju, perbaiki, dan tutup kembali. Jaga dokumen memori agar tidak usang dan berdebu. Percaya atau nggak, dari kecil, gue udah punya rencana bakal hidup seperti apa di usia dewasa dan tua kelak. Semua itu semata-mata gue lakukan agar gue punya motivasi lebih buat berusaha wujudkan semua keinginan gue.

Namun siapa sangka, gue harus mencari arsip untuk direvisi ulang ketika Tuhan datang menguji.

Gue lahir dengan nama Haikal Mahatma Arif delapan belas tahun yang lalu. Seorang laki-laki polos yang dibesarkan dengan keluarga harmonis dan berdasarkan norma serta agama yang dianut. Sebagai umat Protestan, gue cukup rajin beribadah di hari minggu, menenangkan pikiran dan berdoa sesuai kitab yang selalu jadi pedoman hidup gue. Urusan sekolah gue boleh bolos, tapi kalo ibadah, gue nggak main-main.

Sampai akhirnya, gue menemukan titik jenuh.

Baru kali ini, gue merasa tujuan ibadah gue hasilnya nol. Kosong seperti rumah tak berpenghuni. Tak bertujuan, layaknya seekor hamster yang berputar di atas rodanya yang entah sampai kapan. Serupa komidi putar yang hanya berkutat dalam satu lingkaran, nggak melangkah maju ataupun mundur. Gue seperti kehilangan arah. Dan parahnya, mulai meragukan eksistensi Tuhan. Orang pertama yang meyadari justru kakak gue, Hani.

"Ical ayo berangkat gereja."

"Libur dulu deh kak, ngantuk abis nugas semalem."

"Yaelah ibadah bentar doang, ntar siang tidur lagi." Hani masih berusaha menarik selimut gue.

"Duluan aja sana kak, lagian Tuhan juga gak bakal nyariin gue. Dah!"

Semakin hari, gue merasa semakin jauh dari agama gue. Nggah heran kalo nyokap dan bokap gue pun juga khawatir melihat kondisi gue yang hidup dengan kegundahan dan nggak percaya sama Tuhan.

"Papa sama Mama nggak masalah kalo kamu nggak nganut agama yang sama, tapi setidaknya, anutlah satu agama yang sesuai dengan hati nurani kamu, Cal. Orang hidup itu nggak cuma buat tujuan duniawi, percuma kamu jadi orang sukses tapi nggak punya pedoman hidup." Kata bokap menasihati panjang lebar. Jelas, waktu tau gimana kondisi gue saat itu, bokap marah besar dan nyokap nangis sejadi-jadinya. Bingung dengan dosa apa yang pernah dilakukan hingga anaknya jadi seperti ini.

Sekarang makin banyak pertanyaan dalam kepala gue; kenapa Tuhan mengotak-kotakkan umat manusia dalam berbagai macam agama kalo tujuannya sama-sama buat menyembah Tuhan? Tidakkah itu buang-buang waktu?

Kepala gue makin panas.

Setelah berdiam diri berhari-hari di kamar, gue memutuskan buat nongkrong sama temen-temen di warkop tengah kota. Nyari udara segar. Teriknya matahri ternyata nggak bikin orang-orang males buat keluar rumah. Dan temen tongkrongan gue pun nggak jauh beda, paling ntar ada Baim sama Kendra.

"Im, mau ke mana lo buru-buru amat?" Tanya gue ketika baru mendudukkan pantat di warkop sekitar setengah jam yang lalu. Gue sama Kendra lagi bahas kuliah, sedangkan Baim lagi curhat mau tes sbmptn.

SHEET OF SIN; MONSTA XTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang