Mirza; Dibagi

1K 183 31
                                    

Semua orang dewasa pasti pernah melalui masa kanak-kanak. Nggak mungkin dong baru lahir tiba-tiba udah gede aja. Banyak yang bilang, masa kecil itu yang paling menyenangkan, nggak bakal bisa lupa. Banyak kenangan lucu dan manis yang terjadi pada saat itu.

Gue pun juga mengalami hal serupa. Masa kecil gue tuh sangat menyenangkan. Gue dapet perhatian penuh dari nyokap sama bokap, nggak perlu khawatir bakal kekurangan kasih sayang, semua yang gue minta selalu diturutin, dan masih banyak lagi. Gue terlalu terlena sama kehidupan gue waktu itu sampai-sampai rasanya gue nggak mau segera beranjak dewasa. Kayak salah satu dialog di film Peterpan, pas Wendy bilang "i don't want to grow up."

Sayangnya, kebahagiaan gue cuma bertahan sampai usia gue lima tahun.

Bukan, bukan karena orang tua gue pergi, bukan juga karena keadaan ekonomi yang bikin gue diabaikan. Namun, sesuatu yang nggak pernah gue bayangkan sebelumnya. Sesuatu yang nggak bisa gue hindari sekaligus nggak bisa gue terima.

Kelahiran seorang bayi laki-laki.

"Bunda, dia siapa?" Tanya Mirza kecil yang saat itu kebingungan ngeliat nyokap lagi gendong bayi.

"Ini namanya Zidan, sayang. Dia adiknya Arya, temen mainnya Arya biar nggak sendirian."

Sebagai informasi, gue kalo di rumah emang suka dipanggil Arya. Berasa spesial aja gitu.

Gue pun makin bingung. Sejak kapan gue pernah minta temen main? Padahal gue cukup main sama anak komplek juga udah rame, itu aja masih suka dipisahin sama nyokap gara-gara keterusan main sampe magrib.

Sampai situ gue masih nggak paham sama kehadiran si Zidan ini. Intinya yang gue tau, kebiasaan dia tiap hari cuma nangis, ketawa, sama gangguin gue. Dan gue yang notabene nggak suka diganggu sama orang asing, gue jadi suka bentak dia dan berakhir dengan nyokap marahin gue.

Aduh, si Zidan itu ya, capernya bukan main. Apa-apa "Bunda", dikit-dikit "Ayah". Semua orang rumah selalu belain dia, dan jadi tiba-tiba nyalahin gue. Emang sih, nyokap sesekali masih suka manjain gue, tapi yang jadi prioritas utama tetap Zidan. Semua yang dia pengen selalu dikasih dengan suka cita, sedangkan gue kayaknya harus ngelap tugu Monas dulu baru dikasih.

Gue nggak mau berlebihan, tapi bener, gue merasa diintimidasi.

Ketidaksukaan gue terhadap Zidan terus berlanjut seiring bertambahnya usia. Sampai gue sekarang udah menginjak kelas satu SMA juga perasaan gue ke dia semakin nggak suka.

Pernah suatu hari Zidan minta gue bantuin dia buat bikin tugas rumah. Yakali, gue juga punya tugas buat dikerjain. Dan dia terus merengek kayak bayi itu yang bikin gue bener-bener muak.

"Bang Arya...bantuin pr Zidan dong." Pinta Zidan sambil narik-narik ujung kaos gue.

"Bisa nggak sih lo berhenti manggil gue Arya? Cuma ayah sama bunda yang boleh panggil gue Arya."

"Kenapa bang?"

"Soalnya mereka spesial."

"Emangnya...Zidan bukan orang yang spesial ya?" Wajahnya tiba-tiba berubah sedih.

Halah, nggak mempan bocah.

"Nggak. Udah sana minggir."

Zidan diem sebentar, sebelum akhirnya ngambil lagi buku-bukunya dan pergi ninggalin gue. Tapi belum sampe sepuluh menit, nyokap tiba-tiba masuk kamar gue dan ngomel-ngomel, "Arya, kamu apain lagi si Zidan sampe nangis gitu?"

"Bukan gara-gara Arya, Bun. Emang dia aja yang cengeng."

"Nggak mungkin, dia abis dari kamar kamu."

SHEET OF SIN; MONSTA XTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang