Wafi; Epilog

678 142 8
                                    

Gue pernah membaca sebuah hipotesa klise; setiap orang tua pasti menyayangi anaknya. Orang tua selalu memberikan yang terbaik buat anak. Orang tua selalu bla bla bla.

Memang.

Tapi itu hanya menurut orang yang terlahir dengan keluarga harmonis, nggak menurut gue.

Dan dari kalimat di atas, gue yakin lo paham arah pembicaraan sekarang. Jadi, bersyukurlah sebentar buat lo semua yang masih punya keluarga utuh. Meskipun lo masih suka ngeluh perihal ini dan itu, tapi setidaknya lo masih punya bokap buat diajak diskusi tentang acara berita di televisi dan punya nyokap buat tempat bercerita keseharian lo.

Kedua orang tua gue masih utuh, kok. Yang nggak utuh di sini adalah harapan, kepercayaan, dan komitmen. Cuma tiga, tapi bisa membuat afeksi besar bagi hidup gue. Tiga aja kayaknya udah lebih dari cukup sukses buat bikin guncangan besar dalam masa pertumbuhan gue.

Kadang gue suka iri ngeliat temen-temen gue pada bawa bekal dari rumah, ngeliat mereka di anter-jemput bokapnya ke sekolah, dan menghabiskan waktu liburan buat jalan-jalan atau sekedar bikin pesta kecil-kecilan di rumah bareng keluarga.

Sedangkan gue, di umur segitu, yang gue lakoni hanyalah menjadi penonton. Penonton drama pahit kehidupan yang nggak ada habisnya.

Gue jadi mikir; apa di kehidupan sebelumnya gue pernah ngelakuin kesalahan besar sampai-sampai Tuhan tega menghukum gue segini beratnya?

Terlebih gue yang waktu itu belum cukup umur buat ngerti keadaan sebenernya. Gue juga nggak tau itu salah siapa. Yang jelas, gue cuma ngeliat nyokap keluar dari pintu rumah dan nggak pernah kembali sampe delapan belas tahun hidup gue. Hanya tersisa bokap dengan segala kesibukannya akan pekerjaan dan wanita yang berbeda-beda tiap di bawa ke rumah.

Delapan belas tahun, gue hidup tanpa sosok seorang ibu dan kasih sayang seorang ayah. Ini sama aja kayak gue nggak dipertahanin sama mereka. Lalu, gunanya gue dilahirin dulu tuh apa? Masih nggak ngerti.

Nggak ada yang lucu sebenernya, tapi gue tetep ketawa. Tentang bagaimana gue hidup dengan alam yang nggak mengijinkan gue buat ketemu nyokap, dan semesta yang nggak segan-segan buat ngasih gue cobaan terus-menerus. Sebangsat itu alam semesta bergabung buat ngerjain gue.

Untungnya, kehidupan seburuk itu lantas nggak membuat gue jadi anak bengis yang nggak tau aturan layaknya aktor di film-film, atau merubah kepribadian gue menjadi dingin dan misterius kayak tokoh utama dalam novel remaja. Gue masih jadi manusia biasa, makan, tidur, dan pergi kuliah. Padahal gue bisa aja ngalihin keterpurukan gue dengan foya-foya di club malam sampe mabok, tapi nggak. Karena gue udah nggak disayang sama orang tua gue, dan satu-satunya yang masih menyayangi gue adalah organ tubuh gue, jadi gue nggak mau ngerusak itu semua.

Sebab itulah gue memutuskan buat nyari kost-kostan bahkan jauh sebelum kegiatan akademik di mulai. Bolak-balik pindah kost juga gue rasain karena nggak betah. Selama ini gue selalu hidup dengan harta bokap, tentu saja, sayangnya bukan itu satu-satunya yang gue pingin.

"Kamu nggak pulang, Waf?" Tanya bokap suatu hari di telepon. Maklum, gue udah dua bulan nggak pulang. Padahal jarak Jakarta-Bogor itu masih keliatan pendek di google maps.

"Pulangin dulu itu cewek-ceweknya papa, baru aku pulang."

"Masih aja nggak tau diri. Ga ada bedanya sama mama kamu." Tut, telpon langsung gue matiin.

Kadang gue bingung, kenapa bokap masih mau aja pertahanin anak kurang ajar kayak gue. Di situ gue makin mempertanyakan apakah gue ini masih layak buat meneruskan hidup atau enggak.

Di saat Janu pusing dengan dua pilihannya yang menurut gue gak guna karena keduanya juga saling menguntungkan, gue justru pusing mengingat-ingat apakah gue pernah menjadi pilihan pertama dan prioritas dalam konteks hidup orang tua gue.

SHEET OF SIN; MONSTA XTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang