5. Son Of Gold

447 123 48
                                    

Part 5 - Son Of Gold

Gwen membolak-balikan lembaran
demi lembaran majalah wanita bertajuk 'Fashion and Lifestyle' tak berselera. Matanya terbuka tapi nyaris tidak membaca, pikirannya masih sibuk berkelana pada 'bencana' yang terjadi beberapa menit lalu.

Heran. Apa bagusnya sih Darren itu?
Dilihat dari tampang? Cih
pas-pasan kaya oppa-oppa bau tanah.
Dan otaknya itu? Huh... Cetek.
Sangat cetek. Berani taruhan, se-pintar-pintarnya Darren pasti bakalan kalah kalau lawannya Albert Einstein! Ya, kan? Memangnya Darren itu siapa? cuma butiran abu, ralat—dia itu cuma butiran atom, unit paling kecil dari makhluk hidup. Dia memang nggak berguna!

Gwen mengumpat sadis. Ia benar-benar marah! Apalagi mengingat masakannya dilahap rakus oleh si parasit itu, saking kesalnya, bahkan jari-jemarinya merauk lembaran majalah sampai lecek—kusut—tak berbentuk.

Dia terlahir kaya raya. Memiliki segudang apapun yang tidak semua orang punya, membeli segalanya yang mereka suka, tak lagi memperdulikan soal harga. Emas, berlian, tahta seolah melekat pada tubuhnya, nyaris tak terpisahkan. Mereka berlimpah uang. Hidupnya benar-benar mewah. Tapi apa yang harus dibanggakan? Semua itu adalah garis takdir Tuhan, yang tak bisa diganggu gugat, dan lagi semua itu karena Tuhan... Jadi apa hebatnya Darren?

Tetapi semua orang terlalu berlebihan menanggapinya. Mereka begitu memuji Darren, memuja layaknya dewa, melayaninya sepenuh hati, serta memperlakukan Darren seperti raja di singgasana, sedangkan mereka seperti babu. Ya, babu Darren. Gwen berdecih, tangannya mengepal kuat, dadanya sesak ingin menghajar, memukul, menoyor, menonjok—menghabisi. Uh sangat kesal rupanya.

Gwen bergeming sesaat, melirik dari ekor matanya, sialan dia panjang umur! batinya tak terima, kepalan tangannya makin menguat.

"Aku tak butuh pujian." sambar Gwen terlalu percaya diri, membenahi letak duduknya di sofa, mencari posisi duduk ternyaman dan—kebetulan tidak ada, jadi ia memilih berbaring saja, lalu menenggelamkan badan ke sofa yang empuk itu. Sangat empuk.

Darren celingukan ke setiap sudut ruangan, tidak ada siapa-siapa. Alisnya bertaut lucu. Dia ini bicara sama siapa? Ia menggeleng heran.

Bicara padaku? mungkin, tapi siapa juga yang mau memujinya? Lagi pula nyaris tak ada yang bisa dipuji dari si-absurd ini, semuanya tampakmengerikan. Darren bergidik ngeri. Bulu kuduknya ikut menegang.

GWEN-LIN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang