[2] salam pertemuan

93 8 0
                                    

/angkat kepalamu untuk waspada tanpa menutup mata, karena kesialan siap datang kapan saja/

✓✓✓

Sebagian mungkin akan memilih, mempunyai keponakan yang telah beranjak dewasa akan jauh lebih baik ketimbang keponakan yang umurnya masih kecil karena akan sangat menyebalkan jika mereka tengah berulah. Namun sepertinya, versi lebih baik itu tidak berlaku bagi Lisa. Karena jika harus membandingkan kelebihbaikan itu antara Fakhira-Famela dan Chika-Chiko akan terasa imbang tingkat menyebalkannya. Bahkan yang lebih dewasa terasa nyata mempermainkan peran dia sebagai tante.

Setelah mengatakan setuju dengan berat hati atas permintaan Moza, Lisa mencari banyak referensi untuknya melamar pekerjaan di Jakarta. Setelah ada beberapa lowongan yang sekiranya cocok dengan bidangnya sebagai sarjana ekonomi, barulah dia menyiapkan lamaran dan segera pergi ke Jakarta.

"Mamah sama Papah yakin nggak mau anterin aku ke sana?" tanya Lisa sewaktu kedua orangtuanya meminta maaf karena harus membiarkan Lisa pergi tanpa mereka. "Aku harus pergi ke sana sendirian gitu, Mah? Pah?"

"Loh memangnya kenapa?" Elang balik bertanya sembari memperhatikan anaknya yang telah bertumbuh dewasa dengan sehat. "Kamu kan bukan anak kecil yang harus diantar terus ke mana-mana. Lagian, ini cuma Bandung-Jakarta, enggak sampai ke luar negeri."

Sebenarnya, Lisa bukan tipikal anak manja dan juga suka membangkang orangtua, sampai urusan sepele seperti itu saja harus dia perdebatkan. Namun, rasanya berat untuk dia harus pergi ke rumah Fakhira hanya seorang diri. Bukan karena kemungkinan bahwa dia tidak akan diterima di sana, hanya saja ... keponakannya itu pasti akan berada dalam mode di mana bertingkah kekanakan adalah gayanya. Atau mungkin, penyakit manja yang berada dalam diri keponakan-keponakannya telah menjalar pada dirinya juga. Memikirkan itu, hanya membuat Lisa semakin enggan pergi saja rasanya.

Ketika tidak mendapat dukungan untuk permintaan itu dari kedua orangtuanya, Lisa mencoba bicara baik-baik pada Hanaya dan suaminya agar mereka mau berbaik hati kepadanya.

"Buat apa sih, Lisa? Kamu kok kayak mau masuk kandang macan aja takutnya sampai kayak gitu," respons Hanaya ketika mendengar permintaan adik bungsunya.

"Aku nggak takut, Kak," elak Lisa dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Tapi wajar aja dong kalau aku mau minta dianterin?"

"Nggak wajar!" sahut Fazar ketika ikut menimpali permintaan Lisa saat ketiganya tengah bersantai di ruang TV.

"Ayolah, Bang ...." Lisa memohon, mengepalkan kedua tangannya di depan dada dengan kedua mata tertutup. "Sekali ini aja."

"Kamu kalau dilihat-lihat, kayaknya mulai tertular virus manjanya anak-anak deh, Lis."

Kalimat berupa nada ejekan dari kakaknya itu membuat Lisa merenggut tak suka. Bisa-bisanya dia disamakan dengan para keponakan tidak punya telinga itu. Tentu membuat Lisa langsung berhenti meminta karena tak suka disamakan dengan gadis remaja yang selalu mencari ribut dengannya atau anak kembar yang bagai menjadi provokator ributnya mereka.

Dengan lekukan bibir yang dia paksa agar terangkat, Lisa berjalan menjauhi bangunan rumahnya. Mendekati mobil berwarna merah yang dibelikan Elang untuknya saat pertama kali dia masuk kuliah.

Setelah semua barang-barang bawaannya masuk ke dalam bagasi, barulah dia berpamitan kepada keluarganya satu per satu.

"Kamu jagain keponakan kamu yang satu itu, ya? Pastikan kalau dia baik-baik aja," ujar Moza ketika dirinya memberikan petuah-petuah yang dia sampaikan kepada anak bungsunya.

FeedbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang