[3] melihat dia

74 8 0
                                    

/mata ini terbuka lebar. untukmu. untuk luka yang tanpa sadar kau torehkan untukku/

✓✓✓

"Udah dapet panggilan dari tempat kerjanya ya, Tante?"

Wajar saja Fakhira bertanya demikian. Karena sudah tiga hari sejak kedatangan Lisa ke rumahnya, tidak sekalipun dia melihat tantenya berpakaian rapi di pagi hari seperti ini.

Lisa mengedikkan bahu. "Gitu deh."

Terhitung tiga hari tinggal satu atap, keduanya memang belum menunjukkan keakraban sebagai keluarga. Bahkan jauh lebih tepat, Fakhira menganggap tantenya itu sebagai orang yang sederajat dengan Widia sang sahabat sejatinya. Bukan apa-apa, hanya saja ketika tinggal bersama seorang wanita muda membuatnya merasakan punya seorang teman yang sangat sayang jika tidak dia jaili. Pikirnya begitu.

"Soal kejadian botol susu itu ...." Fakhira membuat ucapannya menggantung. Menundukkan sedikit kepalanya saat kedua tangan siap melahapkan roti berselai ke dalam mulutnya. "Aku nggak sengaja, seriusan deh. Lagian, aku kan udah ngasih aba-aba buat tangkap botolnya. Salah sendiri kenapa Tante malah merem kayak anak gadis yang mau dicium pangerannya?"

Lisa berniat untuk membuka mulut dan menimpali Fakhira dengan kejutekannya. Namun, segera dia urungkan ketika terlintas dalam ingatannya tentang Bandung dan keluarga yang menitipkan petuah padanya untuk bersikap baik pada Fakhira.

"Udahlah, nggak penting juga." Lisa memilih untuk tidak ambil pusing.

"Heumm ...." Fakhira bergumam saat mulutnya asyik mengunyah roti berselai. "Paketan aku abis, Tante."

Lisa yang tengah memotong roti berselai strawberry itu pun mendelik. Memasukkan potongan roti ke dalam mulut dan mengunyahnya. Memutuskan untuk tidak peduli dengan basa-basi keponakannya itu.

"Aku serius, Tante!" seru Fakhira dengan tidak suka. Dia lipat kedua tangan di depan dada setelah menjatuhkan rotinya ke atas piring. "Paketan aku abis!"

"Ngaco ya kamu?" Lisa menyipit pada Fakhira dan memperlihatkan layar ponsel yang saat itu memang sengaja dia bawa karena takut ada panggilan dari tempatnya akan interview hari ini. "Aku aja selama di sini pake Wi-Fi rumah kamu. Ngapain kamu mikirin paketan abis?"

Fakhira menggerak-gerakkan bola matanya ke kanan dan kiri. Merasa salah mengambil kalimat pembuka untuk keinginannya. "Aku ...."

"Apa deh? Cepetan kalau mau ngomong! Ini aku udah mau berangkat," potong Lisa dengan cepat sewaktu Fakhira tak kunjung melanjutkan ucapannya.

"Nah justru itu!" Fakhira berseru dengan semangat sampai-sampai menepukkan kedua telapak tangannya cukup keras. "Aku tuh lagi males banget pake taksi, Tante. Bete kalau pake taksi, yang nyupirnya nggak bisa diajak ngobrol. Kalau pake ojek, akunya nggak mau. Aku nggak suka naik motor! Nanti rambutnya berantakan."

Meski ucapan Fakhira berbelit-belit, tapi Lisa mengangguk paham. "Ya udah, cepetan sarapannya! Aku tunggu di mobil."

Baru saja Fakhira ingin bangkit untuk memeluk Lisa sebagai tanda terima kasih, tapi tantenya itu bangkit lebih dulu. Beranjak dari meja makan sebelum keponakannya berulah dan membuat mood di pagi harinya hancur berantakan.

Sebenarnya, Lisa pun tak mengerti kenapa dia harus bersikap demikian untuk menimpali setiap tingkah menyebalkan Fakhira terhadapnya. Entah karena dia tidak ingin menciptakan keributan, yang padahal telah menjadi santapan terbiasa bagi dirinya ribut dengan gadis seperti Fakhira. Dengan Famela contohnya.

Namun, seperti ada alasan lain yang membuatnya tak ingin berdebat panjang dengan Fakhira. Seperti, tak ingin menciptakan keributan yang takutnya berakhir dengan dia harus pulang ke Bandung--entah dalam konteks dia yang enggan menetap lebih lama atau Fakhira tak nyaman dengan keberadaannya--dan mengecewakan Moza yang telah mempercayakan dia untuk menjaga Fakhira.

FeedbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang