[6] surat kedua

61 6 0
                                    

/setelah sekian lama Tuhan menghendaki perpisahan, hanya satu kalimat basa-basi yang mampu terlontar sebagai bentuk kata selamat kembali/

✓✓✓

Apa kabar kamu? Aku harap sih kamu baik-baik aja.

"Hah? Masa gini, sih? Ya ketahuan dong kalau aku yang nulis kalau begini!" Mata Lisa menyipit. Mengernyitkan dahinya sendiri seolah tak mengerti apa yang baru saja dia ucapkan. "Maksudnya, ketahuan kalau suratnya dari orang yang ... yang pernah kirim surat juga. Terus nggak dibalas. Ah, tahu ah! Dia aja nggak mungkin tahu aku siapa."

Lisa menggerutu kesal. Dia sobek kertas dari notebook polos berwarna putihnya. Setelah kertas yang tadi dia coret-coret terkepal, kembali dia lempar gulungan kertasnya ke dalam tong sampah di samping mejanya. Tong sampah yang sudah tidak kosong lagi, melainkan ada beberapa kertas yang lebih awal bernasib demikian.

Setelah merayu Fakhira untuk bersedia sebagai pengantar pesannya, segera Lisa berkutat di atas meja dengan buku dan pulpen untuk merangkai kata. Namun, tak kunjung dia dapatkan pemilihan kata yang tepat karena takut kertasnya berakhir di tong sampah seperti ketika awal dia melakukannya.

"Ngirim surat? Yang bener aja!" Fakhira berseru dengan nada penuh ejeknya ketika Lisa meminta hal tersebut. "Ini udah zaman serba canggih, Tante. Jangankan buat ngirim pesan pake hape, zaman sekarang mah ngirim cinta tanpa tatap muka aja bisa."

Benar. Tapi salah. Hanya saja, Lisa memutuskan untuk tetap melanjutkan aksinya yang dulu sempat terhenti karena dua hal. Pertama karena terlalu sakit suratnya berakhir di tong sampah, kedua karena dia tak mempunyai waktu lagi. Karena saat itu, dia maupun Rafi telah berada di kelas akhir.

Kini, entah alasan seperti apa yang pantas Lisa berikan untuk mencoba berani mengirim surat kembali. Padahal, kejadian surat berakhir di tong sampah itu benar-benar menohoknya. Bukan hanya dulu, tapi sampai saat ini. Lisa hanya merasa perlu saja. Tanpa jaminan sama sekali bahwa surat dan perasaannya terbalas dengan itu.

"Ini bukan saatnya membicarakan kemajuan zaman yang semakin canggih, Fak. Ini menyangkut sesuatu yang nggak bisa aku ceritakan."

Tadinya Lisa berpikir, alasan itu mampu membuat Fakhira mengerti. Namun ternyata, gadis itu tetap bertanya-tanya lebih dalam. Memancing Lisa agar mau bicara tentang alasan yang sebenarnya.

"Tante suka sama dosen yang aku tunjukkan waktu itu?" Fakhira bertanya dengan seringai nakal di wajahnya. "Kalau emang suka, nggak usah pake surat-suratan deh! Langsung bilang aja. Atau kalau Tante bingung gimana cara ngomongnya, sewa aku aja sebagai jubir?"

Lisa menyipitkan matanya dan menggeleng. "Bukan saatnya untuk itu, percaya deh. Aku cuma minta tolong buat sampaikan aja suratnya, apa susah?"

"Tapi dikirimnya surat itu pasti karena ada alasan tersendiri, 'kan?"

Sepertinya, rencana dia untuk meminta bantuan Fakhira bukan ide yang bagus. Dia lupa, keponakannya itu terlalu keras dan ... menyebalkan.

"Satu kali permintaan dikabulkan sama dengan satu kali nonton beserta makanannya."

Lisa mengajukan sebuah keuntungan jikalau Fakhira ingin membantunya.

Perubahan raut wajah Fakhira terlalu kentara. Senyumnya melebar seiring dengan langkah Lisa yang ingin melenggang pergi dari dapur. Karena tanpa memastikan ketersediaan Fakhira, telah dia simpulkan sendiri dari raut wajah yang barusan ditontonnya.

Namun, kembali dia memutar otak dengan keras. Ketika terpikirkan apa yang harus dia tulis, segera dia menunduk. Menarikan pulpennya di atas kertas putih yang semoga saja tidak lagi berakhir di tong sampah kamarnya ataupun tong sampah terdekat seseorang yang ingin dia kirimi suratnya.

FeedbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang