[5] awal peluncuran rencana

67 7 0
                                    

/sebagian orang dengan sikap yang menyebalkan dan menonjolkan tawanya terlalu keras, terkadang menyimpan banyak luka dalam hatinya/

✓✓✓

Berkutat di dapur malam-malam hari memang bukan suatu hal yang asing Lisa lakukan. Namun biasanya, dia akan ditemani Hanaya atau Moza sang mamah. Saat ini pun dia memang tidak sendiri karena ada Fakhira--yang sedari awal dia membuka kulkas untuk mengambil bahan-bahan memasaknya sampai sekarang sudah siap santap--meski hanya terduduk di atas kursi meja makan dengan ponselnya yang menyala.

"Heumm ...," gumam Fakhira dengan kedua mata terpejam rapat saat Lisa memindahkan ayam goreng lengkap dengan sambal buatannya ke atas meja. "Baunya nikmat sekali, Tante."

"Iyalah, siapa dulu dong?" Lisa berkacak pinggang dengan bangga tepat di samping kursi yang diduduki Fakhira.

Fakhira dibuat menoleh dan mendongak. Memperhatikan Lisa dari tempatnya duduk. "Iya-iya, Tante yang paling bisa."

"Bisa apa?" tanya Lisa ketika telah terduduk di kursi yang bersebelahan dengan Fakhira.

Fakhira mematikan ponsel dan menaruhnya di atas meja. Tepat di samping kiri piringnya. "Bisa masaklah."

Diam-diam Lisa tersenyum bangga. Sangat merasa senang baginya karena Fakhira selalu suka dengan semua menu masakan yang dia buat selama berada di rumah ini. Meskipun sebenarnya, ada perasaan kesal untuk beberapa saat ketika dia harus memasak sendiri tanpa ada yang membantu seperti biasanya.

Beruntung bagi Lisa karena tumbuh di sekitar keluarga yang memperhatikannya. Mengajari dia memasak, berkebun, berperilaku baik, dan membimbing dia untuk sekolah dengan benar dan lulus tanpa membuat malu nama keluarga besar mereka.

Sebenarnya, Fakhira pun beruntung terlahir dari seorang ayah yang memiliki rumah sakit besar di ibu kota. Kebutuhan hidupnya tercukupi dari kecil, bahkan sampai saat ini. Namun, keberuntungan hidup yang sesungguhnya tidak berpihak pada dia. Dengan segala fasilitas yang diberikan orangtuanya, membuat Fakhira tumbuh menjadi anak yang manja. Terlebih ketika perpisahan kedua orangtua dan juga meninggal ibunya membuat dia semakin merasa sendiri.

"Ngomong-ngomong ya, Tante," kata Fakhira, membuka pembicaraan ketika mereka berdua telah sibuk dengan nasi dan lauk di atas piring masing-masing. "Dengan keterampilan masak Tante yang udah aduhai banget, cocok deh buat cepet nikah."

Lisa tertawa kecil mendengarnya. "Kamu pikir, semua wanita yang udah mahir masak artinya harus cepet nikah?"

"Loh? Bukankah emang itu tujuannya?" Fakhira menghentikan gerakan tangan kanannya yang mencubit-cubit kulit daging ayam goreng. "Seorang wanita harus pintar masak buat suaminya,' kan?"

Lisa mengangguk. Membenarkan. "Ya bener juga."

"Kalau begitu, wanita yang mahir masak berarti udah siap nikah, Tante. Dan Tante termasuk ke dalam hal tersebut," ujar Fakhira dengan riang dan senang jika ditilik dari nada suaranya.

Dalam keadaan tenang dan santai seperti ini, Lisa memutuskan untuk menyudahi makannya dan beralih fokus pada Fakhira. Ingin meluruskan pemikirannya.

"Nikah bukan hanya perihal wanita udah bisa masak atau belum. Pernikahan itu bukan hanya suatu bentuk rasa senang di mana sang wanita bisa memenuhi kebutuhan suaminya, begitu juga sebaliknya. Bukan hanya sekadar itu. Banyak hal yang harus dipersiapkan. Bukan hanya tentang rasa masakan."

Mendengar itu, Fakhira memiringkan posisi duduknya dan mengernyit heran. "Terus kalau itu nggak penting, kenapa Tante pernah bilang ke aku kalau cewek harus bisa masak buat suaminya kelak?"

FeedbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang