[9] sakit

187 12 3
                                    

/semua jadi terlihat kompak membicarakan sebuah keberanian untuk memulai, meski tak tahu akhir apa yang akan dituai/

✓✓✓

"Tante Lisa beneran nggak papa 'kan, Kak?" tanya Fakhira pada sosok seorang dokter yang baru saja mengecek keadaan Lisa.

Dokter bernama Alan itu mengangguk sembari mengecek selang infus yang telah terhubung dengan pasien. "Tante kamu cuma kecapean dan juga masuk angin. Ditambah lagi, kayaknya tante Lisa kurang makan dan lagi banyak pikiran. Mungkin itu penyebab utamanya kenapa sampai nggak nafsu buat makan."

"Tante dengar itu?" Fakhira mengutarakan pertanyaannya untuk Lisa yang tengah tertidur miring dalam posisi membelakangi Alan dan juga Fakhira berdiri di samping blankar-nya. "Dari kemaren tuh Tante susah banget disuruh makan. Bawaannya minum susu strawberry lagi, susu lagi. Padahal tiap hari masak. Tantenya sendiri yang masak."

"Nggak nafsu, Fak!" keluh Lisa dengan kedua tangan beraksi untuk menarik selimutnya berada sampai batas dada. Dari caranya mengeluh, telah terlihat jelas bahwa seorang tante itu tertular virusnya Fakhira, Famela, maupun si kembar di Bandung.

"Jangan sok-sokan diet, Tante!"

"Aku nggak diet!" Lisa membela diri sembari mengubah posisi tidurnya menjadi telentang. Menatap Fakhira dengan tatapan tajamnya. "Aku emang nggak nafsu makan. Ngerti nggak, sih?"

Fakhira melotot pada Lisa karena telah meresponsnya dengan mendebat seperti itu. Mereka berada di sebuah ruangan yang terdapat Alan di dalamnya. Tentu saja Fakhira harus menjaga suaranya. Nanti yang ada dia kena marah karena dianggap mengganggu ketenangan pasien.

Daripada harus dia yang disalahkan, Fakhira menoleh pada Alan yang berdiri di sampingnya dan bertanya, "Gimana, Kak? Orang kayak gitu enaknya diapain?"

"Oh iya." Alan merespons dengan cepat. Segera dia ambil pulpen dan kertas semacam post it yang selalu dibawanya. Lalu menuliskan sesuatu di sana. "Aku tulisin resep obatnya. Nanti, sekalian aku sisipkan vitamin juga."

"Bisa aku tebus obatnya di depan?" tanya Fakhira dengan sengaja merendahkan suaranya tanpa mengalihkan fokus sedikitpun dari Alan.

Alan tersenyum manis pada Fakhira. "Biar aku aja."

"Nggak usah, Kak, nggak papa. Tante aku itu masih punya banyak uang buat tebus obat. Sekalian aku beresin biaya administrasi di depan," ujar Fakhira dengan telapak tangan dia sodorkan ke arah Alan. Berniat untuk meminta resep yang telah ditulis untuk tantenya.

Alan memasukkan kembali alat tulisnya ke dalam saku jas dan menggeleng kecil. "Nggak ada biaya administrasi."

"Loh? Kenapa?" Fakhira bertanya tanpa terlihat terkejut. Dia tahu, rumah sakit ini milik ayahnya. Namun, entahlah.

"Nanti biar aku aja yang selesaikan semuanya."

Jawaban Alan membuat Fakhira langsung mencela, "Nggak usah. Aku bisa bayar sendiri kok."

"Nggak papa."

"Khem!" Lisa berdehem setelah membenarkan posisi tidurannya menjadi terduduk dengan punggung tersandar pada bantal. "Pulangnya jam berapa nih?"

Fakhira dengan refleks menggantikan pandangan di matanya dengan penampakan seorang tante yang terlihat seperti nyamuk beranjak dewasa. Tantenya ini! Karena sudah terhitung lama tinggal bersama, sepertinya Lisa telah belajar banyak untuk membuat orang kesal seperti ini, misalnya.

"Aku sarankan sih, Tante lebih baik rawat inap untuk satu atau dua hari ke depan," ujar Alan.

"Nggak bisa," tolak Lisa dengan halus, tentu saja karena dia sedang bicara dengan seorang dokter. Bukan dengan gadis pengganggu dokternya. "Besok aku harus kerja."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 24, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FeedbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang