[25] Rasa Sakit

337 13 0
                                    

"WOI SAKHA, LO MAU TIDUR DI SINI SAMPAI KAPAN?" ucap Ardyano dengan intonasi tinggi nyaris menyamakannya dengan lengkingan suara Bu Ana, yaitu salah satu guru IPA di sekolahnya ketika siswa nya ada yang tidak mengerjakan PR atau datang terlambat. 

Untung saja ruangan itu kedap suara. Jadi tidak ada siapapun yang dapat mendengar suara Ardyano disini selain dirinya dan Sakha (Seharusnya).

Ardyano menatap wajah Sakha sekali lagi. Anak itu tetap tidak ada pergerakan se-senti pun. 

"Dia mati kali ya?" gumam Ardyano sambil menjulurkan tangannya mendekat dengan hidung Sakha.

"Ah, masih nafas! Tapi kenapa gak bangun bangun ya?" Ardyano menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal. 

"Sakha, bangun dong. Bidadari lo tadi udah kesini. Masa iya lo gak kangen sama dia sih?" Oceh Ardyano.

Sudah dua jam ia menunggu Sakha di dalam ruangan itu. Namun Sakha tak kunjung sadar. Ardyano pun sampai rela tidak mengikuti pelajaran Bu Maira demi menjaga sahabatnya itu.

Padahal jam yang ada di pergelangan tangan Ardyano sudah menunjukkan pukul 14:10. Dimana sepuluh menit lagi bel pulang akan di bunyikan. Kekhawatiran Ardyano mulai muncul.

"Kha, gue hitung sampai tiga kalau sampai lo gak bangun juga, gue panggilin anak PMR lagi biar lo di rujuk ke rumah sakit jiwa" ancam Ardyano. 

Entah mengapa batin Ardyano mengatakan bahwa seharusnya Sakha sudah sadar sejak tadi.

"Sakha! Woi!"

Sakha tetap terbujur lemah. Tak seperti biasanya anak itu menjadi lemah tak berdaya. Biasanya Sakha paling kuat menahan rasa sakit.

Namun kini, entah ada angin apa Sakha bisa jadi selemah itu. 

"Satu," Ardyano menautkan kedua alisnya.

"..."

"Dua"

"..."

"Tig.." Ardyano menghentikannya, barangkali Sakha betul betul bangun sebelum hitungan terakhirnya. 

"Tiga!! Ah masa bodo, gue panggil anak PMR buat ngerujuk lo ke Rumah Sakit Jiwa pakai ambulans sekarang juga" Ardyano berlalu, dan ketika tangannya sudah melekat pada knop pintu untuk membuka pintunya, langkahnya sempat terhenti untuk memastikan bahwa Sakha mungkin sudah terbangun. 

Namun hasilnya nihil. Sakha tetap tidak bergerak satu senti pun.

Dengan yakin akhirnya Ardyano memutuskan untuk melenggang keluar dari ruangan tersebut, meninggalkan Sakha yang masih dalam posisinya.

"ANO!" pekik seseroang yang seketika membuat jantung Ardyano meleset dari tempatnya. 

Dengan cepat Ardyano memutar tubuhnya dan kembali ke dalam ruang UKS. Dan benar saja, Sakha siuman dan tentunya anak itu masih terlihat waras sampai detik ini. 

Hanya saja tatapan mata Sakha masih menunjukkan tatapan sayu ciri khas orang yang sedang sakit.

"Gue udah terlanjur panggil anak PMR buat ngirim lo ke RSJ" celetuk Ardyano. 

Sakha melotot. "Lambung sama kepala gue yang sakit, bodoh! Kenapa dibawanya ke RSJ?" protes Sakha. 

"Suka suka gue dong!" Ardyano melipat tangannya di dada. 

"Sombong amat lo! Lagian lo bisa gak sih, ngebangunin orang sakit pakai cara lemah lembut? Ini teriak teriak kayak lagi di hutan. Gak kebayang kalau suatu hari nanti lo punya bayi lagi tidur terus lo teriakin. Bisa kejang kejang anak lo!" protes Sakha panjang kali lebar.

AKSENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang