Part 8 (Flashback)

19 2 0
                                    

Lagi, Semua ini selalu terlulang padanya. Membuat lelaki berparas tegas ini muak, ia benci pada dirinya yang tak bisa menahan walau sedikitpun. Lelaki itu menatap bayangannya di cermin, melihat tampangnya yang begitu lemah dan menyedihkan. Ia tersenyum remeh kepada bayangannya.

"Cemen banget lo!"

Tatapan tajam yang ia keluarkan untuk dirinya sendiri dan kepalan tangan yang siap menghantam cermin didepannya kapan saja mendominasi kekesalan lelaki itu pada dirinya.

"Lo cupu! Hahaha"

Darah yang terus mengalir melewati hidungnya tak ia pedulikan, karena itulah yang membuatnya ingin mencacimaki dirinya sendiri. Ia merasa bahwa dirinya tidak bisa melawan barang sedikitpun pada penyakit yang menyerangnya. Semakin hari, kondisinya memburuk, bahkan pikiran yang memenuhi otaknya sekarang bukanlah tentang penyakit itu, melainkan Orang yang sangat ia cintai.

Flashback On

Robert darmawangso, siapa yang tidak tahu nama itu? Pria berbadan kekar dan mimik muka tegas yang ia miliki membuatnya terlihat semakin menawan dan tentu saja perusahaan yang melimpah membuatnya sangat terkenal dikalangan para pejabat.

Dikenal sebagai pemimpin yang ramah juga gesit dalam menjalankan sesuatu, cerdik dalam mengambil langkah untuk maju kedepan mengalahkan pejabat lainnya.

Tapi tidak menurut revan. Papanya itu mempunyai sifat yang membuatnya muak, melihat muka laki laki itu. Membawa wanita murahan yang disewanya ke rumah dan tanpa tahu malu bercumbu panas didepan anaknya sendiri. Bahkan revan berharap dirinya tidak mempunyai ayah seperti itu, dan ia benci dengan kenyataan mamanya yang selalu mencintai lelaki brengsek itu tanpa memandang semua yang telah dilakukannya kepada wanita itu.

Terlebih lagi mamanya memaksa revan untuk menjadi pengurus salah satu perusahaan suaminya. Ia tau ini permintaan lelaki itu yang memaksa mamanya untuk membujukku mengurus perusahaannya agar uang uang itu tidak terpotong oleh pegawai yang seutuhnya mengurus perusahaan tersebut. Membuat revan sangat tertekan dan merasa sangat muak.

Semua berkecamuk dalam pikiran revan. Tetapi setelah ia bertemu Aleyna, semua berbeda. Aleyna adalah rumah untuk beristirahat dan pundak untuk bersandar baginya. Senyum menenangkan yang selalu gadis itu perlihatkan saat bersama revan membuatnya merasa jauh lebih baik. Pendiriannya yang dewasa, pendengar yang baik dan candaannya yang konyol ia tempatkan dengan sangat baik.

Menatapnya tertawa lepas membuat pikirannya hanya tertuju pada bagaimana cara menetapkan tawa itu pada diri Aleyna?

Jawabannya sudah ia ketahui.

Tidak mungkin.
Jika bersama dirinya, Aleyna tidak akan mungkin bisa bahagia. Ia hanya bisa meminta pada tuhan agar gadis dihadapannya ini bisa tertawa seperti sekarang walau tanpa dirinya.

Kanker darah yang ada pada dirinya telah menguasai setengah dari tubuhnya. Lelaki ini tak mau membiarkan Aleyna tahu tentang penyakit yang ia alami.

"Revan, kamu ga boleh gitu terus sama mama kamu. Mama pasti pingin yang terbaik buat kamu. Nurut ya?"

Revan mengangguk dan membuat tubuh kecil Aleyna tenggelam didekapannya, menghisap wangi perempuan itu rakus dan mengelus punggung Aleyna lembut.

"Makasih... Aleyna"

Ya. Revan selalu menceritakan tentang semua yang terjadi pada keluarganya. Ia merasa sangat nyaman mendekap gadisnya ini. Revan pasti akan merindukan Aleyna, sangat merindukannya.

"Le, kita masak masakan mau ga? Beli bahan dulu kita ke supermarket sekalian jalan jalan lumayan hahaha"

"Iya ayo, ngedate di supermarket hahaha"

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang