(1) Ketika Sampai di Kota

462 6 0
                                    

Bagian 2

Ketika aku sedang bingung untuk menentukan arah gang mana yang akan aku telusuri terlebih dahulu. Mendadak, terdengar sayup-sayup tawa dan perbincangan beberapa orang. Aku tertarik untuk mendekati sumber suara itu, dan semakin ku mendekati suara itu, semakin jelas apa yang kudengar.

“Hahaha! Kita bisa makan nih hari ini.”
“Hahaha... tumben kau bisa dapat.”
“Eh! tapi, bukankah hari ini bos melarang kita untuk beraksi?”
“Aku tidak peduli. Karena, aku juga butuh makan. Bos mah enak, memiliki pemasukan dari hal lainnya. Jadi, dia bisa asal-asalan melarang anak buahnya untuk mencari rejeki.”
“Tapi, bagaimana, jika kita mendapatkan hukuman?”
“Alaaah, bodo amat! Yang penting, saat ini kita bisa lihat berapa hasil kerja si anak baru ini. Apa dia dapat banyak?”
“Hahahahaha....”

“Tolong, kembalikan dompetku!” akhirnya aku berhasil menemukan tempat di mana copet itu berada. Benar, dompetku juga ada di sana—bersama dompet dan tas-tas orang lain. Ternyata ini adalah markas para pencopet. Aku pun berupaya meminta dompet itu dengan baik-baik. Namun, ternyata mereka tidak memilih jalan yang kutawarkan. Kedamaian.

Bahkan, aku sudah mencoba mengikhlaskan dompet dan uangku, asalkan sesuatu yang didalamnya dapat kuambil. Tapi, tetap saja, mereka tak goyah. Mereka justru memberikan penawaran yang sulit untuk ditolak. Pertarungan. Sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan kembali isi dompet itu.
“Baiklah, kalau begitu.” aku menyetujui tantangan mereka.

Kini, terjadilah perkelahian dan aku tak bisa menghindarinya. Beruntungnya, aku memiliki latar belakang belajar ilmu bela diri sedari kecil. Sehingga, meladeni perkelahian, apalagi perkelahian tanpa teknik yang kuat seperti para berandalan ini, bukanlah hal yang sulit. Satu-satunya kesulitanku adalah tenaga. Aku belum makan sedari tadi dan ketika ingin makan, justru dompetku diambil paksa. Apalagi, di dompet itu aku juga menyimpan satu-satunya petunjuk yang kumiliki untuk mencari Sukma. Foto, dan itu tidak boleh hilang apalagi diambil orang lain yang tidak mengerti misi utamaku di kota ini.

Aku terus meladeni pertarungan itu dan berhasil merobohkan satu per satu orang yang ada di situ. Mereka panik dan salah satu orang di antara mereka menyarankan salah satu temannya yang sedari tadi berada di meja—tempat keberadaan hasil copet dan rampasan, untuk menyerahkan saja dompetnya.
“Baiklah.” Orang itu berdiri dan memegang dompetku. “Jika ini maumu. Ini, ambillah.”

Aku merasa lega. Akhirnya orang itu tidak ingin membuat drama aksi ini menjadi lebih panjang. Aku menghampirinya dan hendak mengambil dompetku. Tapi, “hoop!” dompet itu dilempar ke orang lain dan aku terkejut. Di saat itulah, orang itu segera meluncurkan tangannya untuk menghantam wajahku.
Aku tak kehilangan kesigapan untuk menepis tangannya. Kutangkap dan kupelintir tangannya ke belakang. Aku mengunci tangannya ke belakang tubuhku. Sedangkan tubuhnya kujorokkan ke bawah. Dia mengaduh kesakitan dan memohon ampun. Begitu pula dengan teman-temannya. Akhirnya, dompetku benar-benar berada di tanganku.

Namun,
“Splash!!! Sretttt!!!” mendadak tanganku dililit oleh sebuah rantai besi. Aku terkejut dan tarikan rantai itu juga membuat genggaman tanganku terhadap dompet melonggar. Dompetku jatuh ke tanah.

Tarikan kuat rantai itu juga pada akhirnya membuatku terpelanting menghantam hamparan tanah kering berdebu ini. “Duh! Apalagi ini?” gerutuku di dalam pikiran.

“Hehehe... tidak semudah itu Fergusso!”

=-*-=

"The part of this chapter (Ketika Sampai di Kota) was ended. The next chapter which uploaded! Please, swipe up! Thanks!" ;)

Malang, 14 Maret-14 Mei 2019

Hati Baja (Original Story by Agustian Noor in Ciayo Comics)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang