(1) Ketika Sampai di Kota

2.1K 15 8
                                    

Bagian 1

Aku tidak tahu, mengapa saat ini berada di sini. Walau aku terbiasa berada di tengah hutan. Namun, kali ini aku merasakan ada yang janggal. Aku berada di tempat yang tidak biasa. Hutan yang tandus dan hanya terdapat satu pohon saja. Pohon itu menjulang tinggi, dan mataku mendadak dikejutkan dengan keberadaan sosok perempuan. Perempuan itu ada di bawah pohon itu. Entah mengapa, dia ada di sana.

Rasa penasaranku mendorong kakiku untuk melangkah ke arah pohon itu. Bukan untuk berteduh di tengah sengatan matahari yang terasa lebih panas dari biasanya. Aku ingin menghampiri perempuan yang tetap duduk di sana-dia seperti tak bergerak sama sekali. Awalnya aku melangkahkan kaki dengan ritme biasa. Namun, semakin lama, semakin jarakku dekat dengan perempuan dan pohon itu, aku mencium aroma yang tak biasa. Ini aroma yang sangat tidak kusuka.
Darah!

Inilah yang membuatku mulai waspada dan mulai mengubah gaya jalanku. Perlahan-lahan-dengan berjalan mengendap-endap, aku mendekati sosok perempuan yang berada di bawah pohon itu. Awalnya, aku melihat dia seperti duduk biasa. Namun, ketika kulihat dari dekat. Tenyata, dia dalam kondisi terikat!

Perempuan itu terikat di pohon, dan... dia terlihat sangat tidak baik. Ada darah. Ternyata dugaanku benar. Aroma darah yang menusuk hidungku tadi adalah dari perempuan itu. Aku mulai ragu apakah dapat berbuat sesuatu untuk perempuan itu. Namun, kakiku tetap berupaya mendekat. Aku ingin mengetahui apa yang terjadi pada perempuan itu, sekaligus mewujudkan niatku untuk menolong perempuan itu.

Aku harus melepaskan ikatan itu.
Namun, belum sampai kakiku berada tiga langkah ke arahnya, perempuan itu perlahan-lahan mulai mengeluarkan suaranya.
"Ttto...long...
Tolong aa-kuu. Tolong aku..." perlahan-lahan kepala perempuan itu mulai terlihat mendongak.
"Tolong aku Kheelan..." kepala perempuan itu sudah mendongak dan wajah perempuan itu sudah menampakkan diri dengan sempurna dan mengejutkanku.
"Sukma?!"
"Tolong aku Kheelaaaan!!!!!!!"
Mendadak penglihatanku terserang oleh semburan cahaya dan cipratan darah yang keluar dari matanya yang tak berkornea!
"Hey, mas bro! Mau turun di mana?"
"Mas! Mas!"
"Eh!" aku tersadar dari tidur lelahku selama perjalanan. Mimpi itu kembali datang dan entah mengapa, aku merasakan mimpi itu semakin terasa nyata.

"Ini ada di mana mas?" aku bertanya kepada dua orang yang berada di dalam mobil pick-up. Sedang aku berada di bak terbukanya.
"Ini sudah masuk ke daerah perkotaan, mas. Sekitar 2 kilometer lagi, kita sampai di tengah kota. Mas mau turun di mana?" seorang laki-laki seumuranku yang duduk di samping sopir menanyakan tujuanku. Lebih tepatnya sisi kota manakah yang akan aku tuju. Pertanyaan sulit. Karena, aku belum pernah ke kota dan aku juga tidak memiliki tujuan yang pasti di dalam kota ini.
"Ah, saya turun di sini saja mas."
"Beneran mas? Mas mau turun di sini? Sebentar lagi kita sampai tengah kota lho."
"Iya mas, santai aja." Pak sopirnya juga menimpali untuk meyakinkanku agar turun di daerah pusat kota. Tapi, aku berkehendak lain. Aku merasakan jika daerah ini lebih tepat dibandingkan tengah kota, yang belum tentu di sana lebih mudah untuk mendeteksi keberadaan Sukma. Ya, Sukma yang sedang kucari di kota ini.
"Tidak apa-apa, pak-mas, saya turun di sini saja. Sepertinya ini lebih dekat dengan rumah saudara saya." aku berusaha meyakinkan dua orang yang baik hati ini.

Melihat keputusanku yang bulat ini, dua laki-laki itu 'mengikhlaskan' aku untuk turun di sini. Di area dekat pasar kota. Setelah sempat kutawarkan beberapa lembar uang yang tak seberapa, mereka tetap menolaknya. "Buat makan mas saja. Di kota dan sedang jauh dari orang rumah, mas lebih membutuhkannya daripada kami."
"Betul mas. Santai aja. Lain kali kalau ketemu lagi dan mas hendak ke desa, tinggal bilang saja. Tidak usah sungkan." Pak sopir kembali menekankan niatnya untuk menolongku, dan akhirnya aku hanya bisa mengucapkan terimakasih sebagai balasan jasa yang setimpal untuk bantuan tumpangannya. Kami berpisah dan aku mulai bersiap untuk menjelajahi kota ini. Dimulai dari area depan pasar kota ini. Memang, aku tidak memutuskan untuk masuk pasar. Menurutku, di dalam pasar lebih sulit untuk menemukan Sukma, termasuk mengganggu aktivitas orang-orang yang pastinya sedang asyik berbelanja.

Aku memutuskan untuk menelusuri trotoar di jalanan kota. Hingga, tak kusangka, jika aku sudah cukup jauh dari titik pemberhentianku tadi. Aku tidak terlalu peduli. Karena, aku ingin mencari dan menemukan Sukma. Temanku di desa. Dia adalah salah satu orang desa yang akhirnya berani memutuskan untuk merantau ke kota. Suatu pilihan yang sulit bagi dia, orangtuanya, keluarganya, orang-orang di desa, bahkan bagiku juga. Bagiku, dia sudah seperti teman dan saudara. Dia tak segan untuk membantuku ataupun juga kakekku-satu-satunya yang tersisa dari keluargaku. Ketika hasil tanaman kami panen, dia tak segan untuk turut membantu. Kedekatan ini membuat orangtua Sukma juga dekat denganku dan kakek. Bahkan, aku melihat kakek seperti bapak kedua bagi orangtua Sukma. Kami sungguh dekat. Inilah yang kemudian mendorongku untuk mencari Sukma di kota ini.

Aku ke sana-ke mari, namun tak kunjung kutemukan hasil ataupun titik terang terhadap letak keberadaan Sukma. Aku mulai putus asa.

Tidak. Sebenarnya aku mulai lelah. Seharian berjalan beratus-ratus meter dan hanya menemukan wajah-wajah tak acuh dan sok sibuk, yang membuat mereka bahkan enggan untuk sekadar melirik foto Sukma.
"Apa seperti ini orang kota? Berbicara sedikit dengan orang lain. Padahal orang lain sedang sangat membutuhkan bantuan."
Krucuk-krucuk!
"Aduh... aku lupa, jika belum makan sejak sampai di kota tadi. Apa aku harus mampir ke minimarket itu? Sepertinya ada makanan yang bisa segera dimakan."

Aku tertarik untuk masuk ke sebuah minimarket. Memang selama ini, aku hanya tahu namanya saja. Kalaupun ada bentuknya, letaknya cukup jauh dari desa. Lebih tepatnya, minimarket itu berada di perbatasan antara desa dengan kota. Sehingga, cukup mustahil bagi orang sepertiku untuk ke sana. Namun, kali ini, aku hanya berjarak beberapa langkah saja dengan minimarket itu. Aku ingin masuk ke sana dan merasakan sensasinya.

Kakiku melangkah ringan di atas trotoar yang cukup banyak orang lalu-lalang. Hingga, aku sedikit terusik dengan senggolan seseorang. Orang itu bertudung. Pakaiannya seperti jaket, namun tak berlengan. Aku tak menemukan hal istimewa dari orang itu. Namun, dua langkah kemudian, aku merasakan ada kejanggalan.
"Kok, jaketku terasa ringan?"
Kumasukkan salah satu tanganku ke kantong jaketku, dan benar! Dompetku tidak berada di sana lagi. "Copet? Copet?! Orang itu copet ternyata!"
"Hey, mas! Berhenti!" aku yakin jika orang bertudung dan menyenggolku tadi adalah orang yang mengambil dompetku.

Benar, orang itu pun merasa jika aku memanggilnya dan dia pun berlari. Aku kaget, ternyata apa yang dikatakan mas di dalam mobil pick-up itu benar. "Awasi dompetmu mas. Dia adalah godaan besar bagi pemuda pengangguran di kota."
"Betul, mas. Dompet adalah sasaran utama sebelum perempuan muda yang cantik." Pak sopir juga turut menimpali kala itu. "Sialan! Ternyata memang ada copet!"

Aku mendengus kesal dan berusaha sekuat tenaga untuk berlari mengejarnya. Mengejar copet sialan itu.
Aku terus berlari dan tidak terlalu menghiraukan keberadaan banyak orang. Fokus mataku adalah copet itu.
Bruk!!!

"Aduh!" aku tidak sengaja menabrak seorang perempuan muda. Tidak hanya itu, aku juga membuat tas dan barang-barangnya jatuh berserakan. Aku berupaya menebus dosa dengan membantu mengambilkan tasnya dan meminta maaf. Namun, ketika aku hendak lari lagi-mengejar copet itu,
"Eh, mas! Ambilkan barangku juga dong! Masa' sudah menjatuhkan, mau asal lari seenaknya. Mana tanggungjawabmu sebagai laki-laki?!"
"Eh, iya mbak. Maaf. Saya terburu-buru, mbak. Ada copet itu." Aku tak punya pilihan selain mengambilkan barang-barangnya dan memberikannya pada perempuan itu. Sambil mengucapkan maaf sekali lagi, aku pun segera pergi meninggalkan perempuan itu.

Cukup lama aku terhenti oleh tabrakan dengan perempuan tadi dan membuatku kehilangan jejak si pencopet. Aku kebingungan mencari arah larinya. Aku hanya mengingat arah terakhirnya adalah gang ini-yang saat ini sedang kulalui. Rupanya ada gang lainnya lagi. Aku menoleh ke sana-ke mari dan menentukan arah dan gang mana yang harus kutelusuri. Ke mana orang itu pergi?

...

*-*

"The second part in this chapter (Ketika Sampai di Kota) was uploaded! Please, swipe up to read next part!" :)

Malang, 14 Maret 2019.

Hati Baja (Original Story by Agustian Noor in Ciayo Comics)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang