(4) Tantangan yang Sebenarnya

177 6 0
                                    

Bagian 1

Sungguh hari yang melelahkan dan aku berusaha untuk mengusir kepenatanku dengan bermain ular-tangga. Permainan yang selalu membuatku merasa kembali tenang dan kembali dapat mengingat masa kecilku, bahwa aku sering bermain ular-tangga ini dengan kakekku.

Permainan ini biasanya menjadi mediaku untuk dapat belajar tentang apa saja dari kakekku. Dari hal-hal yang masih dapat kuanggap sepele, sampai yang berat pernah disampaikan oleh kakek. Bahkan, ketika aku meminta untuk diajarkan sebuah jurus silat, kakek memintaku untuk dapat mengalahkannya dalam bermain ular-tangga terlebih dahulu.

"Kalau kamu menang lagi, maka, aku akan mengajarimu, Kheelan. Ayo, kalahkan dulu kakekmu ini, hahaha!"

Hm... kali ini aku merasa jika kakek tidak akan kalah. Aku tidak tahu penyebabnya. Apa mungkin karena aku sedang kelelahan? Atau aku sedang tidak fokus bermain di sini?

Apa aku masih mengingatnya?
Sukma?
Di mana kamu, Sukma?
Brakkk!
"Hey, jangan melamun terus! Kalau bidakmu tak bergerak, bagaimana bidakku dapat bergerak?"

Aku pun mengambil dadu dan menggerakan bidakku sesuai angka yang keluar dari dadu itu. Aku meluncur ke bawah, alih-alih dapat menyentuh angka 80. Sedangkan kakek sudah berada di angka 94. Enam langkah lagi, jika dadunya tepat mengeluarkan angka 6.
Syutt! Tretektektekk.. tek!
"Yahahaha! Aku menang! Kheelan, aku menang! Hahaha!"

Begitulah kakekku jika bermain, apalagi menang. Ekspresi dan luapan emosinya keluar seperti anak kecil yang menang bermain gundu. Mungkin inilah yang membuat kakekku tetap semangat dan kuat. Mungkin inilah yang membuat dia tak pernah mengeluh dan mengungkapkan kelelahannya, apalagi saat di depanku.
Hm...
"Kheelan."
"Iya kek?"

Aku melihat kakek terlihat sangat serius. Apakah dia akan memberiku sesuatu lagi? Mungkin dia ingin memberikan wejangan lagi. Tapi, bukankah kali ini aku kalah bermain? Atau memang kakek ingin memberikan pesan kepadaku?

Aku melihat sorot matanya sangat tajam. Tidak seperti biasanya kakek memandangku seperti itu. "Ada apa kek?" Aku mencoba memberanikan diri menegurnya. Aku berpikir jika dengan pertanyaanku, kakek akan berubah ekspresinya. Namun, dugaanku meleset!

"Apa yang kau bawa dari kota?"
"A-apa maksud kakek?"
"Apa kau sudah kehilangan kepekaanmu?"
Aku semakin bingung dengan pernyataannya, atau ini memang pertanyaan yang serius ditanyakan padaku? Tetapi, mengapa aku tidak memahami pertanyaannya?

Lebih parahnya lagi, aku melihat kakek menyingsingkan lengan bajunya. Ini artinya...
"Lihat itu, Kheelan!"
Kakek menunjuk arah belakangku. Aku tergeragap dengan tudingan yang penuh energi dari kakek. Ada apa ini? Apa benar, ada sesuatu di belakangku?

Aku ragu untuk menengok ke belakang. Tapi, aku tidak bisa membiarkan diriku untuk tidak melihat apa yang dituding dengan emosional oleh kakekku. Jika di belakangku ada sesuatu yang tidak beres, mengapa aku tidak merasakannya? Apa benar seperti kata kakekku, jika aku kehilangan kepekaan?

Aku sangat berhati-hati, namun aku berupaya memberanikan diri untuk melihat gerangan yang ada di belakangku. Settt!
"A-a-apa itu?!"
Sesuatu yang tidak bisa kujelaskan dengan benar, namun sesuatu itu langsung bergerak cepat ke arahku dan ... "Aaaarrrrgh!!"

"Hey, mas!"
Aku terperanjat kaget.
Ternyata, "mas sedang mimpi buruk ya?"
Aku masih belum bisa menyahut pertanyaan seorang lelaki yang kuprediksi beberapa tahun di atasku. Sepertinya dia orang sekitar sini. Aku pun berusaha mengatur nafasku yang masih terbawa kepanikan dari mimpiku tadi.

Hari sudah pagi dan mungkin karena kelelahan, aku bangun sedikit siang dari yang seharusnya. Apalagi aku tidak tidur di tempat penginapan. Seharusnya aku bisa bangun lebih pagi dari ini.

Setelah berbincang-bincang sejenak dengan lelaki itu aku mulai bersiap untuk pergi. Namun sebelumnya, aku tidak lupa untuk menanyainya tentang Sukma dengan foto yang untungnya tetap dapat terlihat dengan jelas. Sayangnya, lelaki itu tidak mengetahui sosoknya.

Jawaban yang cukup mempengaruhi semangatku. Namun, lelaki itu tanpa kusadari telah menunjukkan arah tempat untuk aku dapat membersihkan badan dan berganti pakaian. Tempat itulah yang dia katakan akan memberikan semangat untukku mencari Sukma.
"Semangat mas! Semoga lekas bertemu, ya!"

Ucapan itu membuatku kembali bersemangat untuk memulai langkahku hari ini. Semoga apa yang dikatakan laki-laki tadi adalah doa yang manjur untukku. Tetapi, --di dalam beberapa langkahku-- aku kembali berpikir tentang apa yang ada di dalam mimpiku tadi.

Entah mengapa, aku masih mampu mengingat detil mimpiku itu. Apalagi bagian akhirnya. Itu sangat mengejutkan dan membuatku ingin mengetahui maknanya. Apakah mimpi itu ada keterkaitan dengan perjalananku di kota ini? Apakah itu artinya aku akan menemukan titik terang keberadaan Sukma?

*-*

"This is the part special of Hati Baja and have continued below yet. Please swipe up to still read this story! Thanks!"

Tulungagung, 31 Juni - 6 Agustus 2019.

Hati Baja (Original Story by Agustian Noor in Ciayo Comics)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang