BAB 3

31 4 0
                                    

Tidak terasa aku akan SMA. Masuk ke dunia dewasa dan bertemu dengan banyak orang dewasa.
Sepertinya aku belum siap untuk meninggalkan masa remajaku ini. Walaupun SMP terasa biasa saja, aku belum mau berpisah dengan teman-temanku. Terutama Tasya dia sahabat terbaikku. Kapan lagi aku menemukan teman aneh seperti dia.

"Ujian tinggal satu minggu lagi, sayang. Kamu jangan banyak main. Harus banyak belajar," kata Ayah sembari mengelus kepalaku.

"Iya, Ayah. Memangnya aku banyak mainnya?" ya itu memang sedikit lancang.

"Ayah beberapa kali melihatmu main ke taman, ke mall, bahkan kamu pernah main ke laut,"

Wah! Gawat ayah tau semuanya. Dan pada saat itu aku ke laut bersama Fiki. Ayah punya mata-mata?

"Aku sedang melepas rasa bosan, Ayah," ujarku membela diri sendiri.

"Bosan? Ke laut bersama teman lelakimu akan melepas rasa bosanmu? Siapa dia?" Ayah mulai kepo.

Aduh bagaimana ini! Apa yang harus aku katakan?

"Em.. dia temanku. Hanya teman belajar. Ayah jangan percaya apa yang dikatakan Kak Fira," aku berusaha meyakinkan Ayah.

"Memang apa yang dikatakan Kak Fira?"

"Fiki pacarku," spontanitas.

Eh! Apa yang aku katakan tadi?!

"Sungguh?" Ayah kaget.

"Bukan, Ayah! Tidak! Maksudku itu yang dikatakan Kak Fira. Aku tidak berpacaran dengan Fiki. Dia itu temanku. Ayah harus percaya kepadaku," aku semakin berusaha untuk meyakinkan Ayah dari perkataan bohong Kak Fira.

"Iya, Ayah percaya kepadamu. Untuk kali ini Ayah berpesan jangan memikirkan persoalan asmara dahulu. Utamakan sekolahmu. Lelaki itu akan datang di saat yang tepat," kata Ayah menasehatiku.

"Aku tidak akan memikirkannya. Jika di SMA nanti aku menemukan lelaki itu, boleh kan aku memikirkan asmara?" tanyaku meringis.

"Tentu saja boleh karena kamu sudah beranjak dewasa. Tetapi jangan sampai persoalan asmara akan mengganggu sekolahmu. Ingat cita-citamu!" jawab Ayah.

"Siap komandan!" jawabku pura-pura mengiyakan.

Memangnya aku akan menemukan lelaki itu di SMA? Katanya masa SMA yang paling indah. Semoga saja.

****
"Kaisha, belajar bareng, yuk!" ajak Tasya kepadaku.

"Zain tidak kamu ajak?"

"Malas!" jawab Tasya cuek.

"Tidak boleh begitu. Kita harus menyebarkan ilmu kepada siapapun. Karena ilmu yang paling baik ialah ilmu yang bermanfaat bagi orang lain," ucapku dengan bijak

"Bijak sekali kata-katamu. Ya sudahlah aku akan menghubunginya," ucapnya pasrah.

"Kapan belajar bersama? Di rumah siapa? Dan hanya kita bertiga saja? Tidak mengajak yang lainnya?"

"Besok siang. Mungkin di rumahmu saja. Memangnya kamu akan mengajak siapa? Fiki?"

"Lagi-lagi di rumahku. Tidak apalah aku juga sedang malas keluar rumah. Fiki juga boleh, Tas. Berarti kita berempat?"

"Iya, kita berempat saja. Kalau banyak anak tidak jadi belajar bersama, tetapi gosip dan main bersama. Aku sudah meramalnya," ucap Tasya bijak pula.

Kali ini aku berangkat dan pulang sekolah naik sepeda. Tidak mau manja karena akan beranjak dewasa. Walaupun Ayah dan Bunda bersikeras agar aku tetap antar-jemput, tetapi aku ingin bersepeda saja. Asik juga, ya naik sepeda. Ketika pagi udara Bandung sangat sejuk walaupun pada siang hari terasa panas. Kali ini aku pulang lengkap dengan masker di mulutku dan sarung tangan. Kalian pasti tau apa tujuanku menggunakan kedua benda tersebut.

Aku DilemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang