BAB 4

51 4 0
                                    

"Semakin tinggi pohon semakin kencang anginnya."

Peribahasa yang tercantum di dalam buku sastraku. Yang artinya, semakin dewasa kita semakin banyak pula masalah dan cobaan yang menghampiri.
Aku benar-benar dilema. Apakah aku harus meninggalkan Bandung demi kota yang menurutku asing?  Tidak semudah itu.
Aku sudah beberapa kali mengatakan kepada Ayah, Bunda, dan kakakku bahwa aku akan tetap tinggal di sini. Tetapi mereka semua ragu dengan pendapatku. Mereka tidak percaya denganku?
Aku juga sudah menceritakan hal ini kepada teman-temanku. Mereka tidak mempunyai solusi yang tepat untuk masalahku ini. Sebagian dari mereka mengatakan agar aku patuh terhadap Ayah dan Bunda untuk pergi ke Palembang.
Kata patuh itu menamparku. Baru kali ini aku bisa dikatakan tidak patuh terhadap orang tua. Tetapi bagaimana lagi ini keputusanku untuk tetap tinggal di sini.

Hari ini Ayah dan Bunda akan berangkat ke Palembang. Aku sempat mengantarkan mereka berdua ke bandara. Aku harus berpisah jarak dengan orang yang sangat aku sayangi.
Kini hanya ada aku, Kak Fira, Bibi, dan Mang Jali saja yang tinggal di rumah. Tetapi hari esok ketika Kak Fira juga pergi? Aku hanya bersama Bibi dan Mang Jali.
Aku memaksa mereka berdua untuk tetap tinggal di rumah sebagai temanku. Ayah dan Bunda juga tidak mengizinkanku untuk hidup sendirian.
Safe flight  Ayah Bunda!

"Jangan sedih, ya Kai," Tasya menenangkanku.

"Iya, Tasya. Thanks udah mau menemaniku ke bandara tadi,"

"Sebentar lagi pengumuman nilai. Jadi yang semangat ya!"

"Hehe pasti," jawabku gugup karena rasa sedih ini masih ada di dalam benakku.

Bibirku berkata pasti, tetapi hatiku yang tak pasti.
Terus terang saja aku merasa sedih ketika berjauhan dengan Ayah dan Bunda. Antara menyesal dan meyakini keputusanku.

****
Akhirnya pengumuman nilai. Aku lulus dengan rata-rata nilai 87,5. Ini awal yang baik pasti Ayah dan Bunda senang dengan kabar ini.
Selamat tinggal SMP aku selalu merindukanmu.

Kini aku mulai disibukkan dengan pendaftaran SMA. Dan akhirnya aku diterima di SMA dekat alun-alun itu. Ini kisah SMAku semoga menyenangkan. Aku akan mengambil jurusan IPA, yaitu mata pelajaran kesukaanku.
Awal masuk sekolah ada kegiatan MOS. Banyak kegiatan yang dilakukan sampai-sampai aku kelelahan.
Tiba-tiba saja aku melihat seseorang yang tak asing bagiku.
Siapa dia?

My first love! Rendi!
Dia benar-benar sekolah di sini? Kata batinku kini menjadi nyata. Masih ingat kan kalian dengan kata-kata itu?
Aku tidak akan menghampirinya apa lagi menyapanya terlebih dahulu. Biarkanlah lelaki yang mengawali.
Aduh mengapa aku menjadi gugup begini, ya?
Dunia terasa bergonjang-ganjing ketika aku melihatnya. Sudah lama tak kulihat batang hidungnya. Apakah SMA ini menjadi jawaban?
Apakah aku akan menjalin cinta monyet?

"Hei! Capek, ya?" suara lelaki.

Siapa dia? Siapa?

"Hai Ren..."

Dia bukan Rendi. Dia kakak kelas yang bertugas mengurus rombonganku.

"Diam saja? Sudah berapa lama bersahabat dengan patung?"

"Eh, kak iya hai. Iya aku capek," ucapku dengan penuh rasa malu.

Dia mengatakan aku bersahabat dengan patung, menyebalkan.

"Kaisha Fariza nama yang unik," dia yang aku tak tau namanya mengeja namaku yang tercantum di name tag.

Aku DilemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang