Kantik Teknik. Pagi.Kalau-kalau ada yang sedikit peduli dengan keberadaan sekelompok cewek yang bergumul dalam satu meja bundar yang terletak di tengah-tengah kantin tersebut, dekat dengan gerobak pedagang bubur ayam, mungkin akan timbul berbagai macam spekulasi di benak mereka.
Suara tercekat mereka setelah salah satu selesai bercerita jelas mengindikasikan bahwa sebuah berita mengejutkan baru saja dilemparkan dalam pembicaraan. Mungkin nilai ujiannya kelewat jelek, atau mungkin juga cerita tentang hewan peliharaan kesayangan yang baru saja mati. Mungkin juga salah satu dari mereka baru diputuskan, atau bisa jadi baru diselingkuhi.
Kalau mau drama, mungkin saja akan ada orang yang sampai berpikir kalau salah satu dari mereka baru saja divonis sebuah penyakit mengerikan. Apalagi kalau melihat ekspresi terkejutnya Rumi yang benar-benar menjiwai, atau wajah tercengang Anya yang sangat meyakinkan, walau mungkin cewek itu hanya sarkastis seperti biasa.
Variabel-nya sungguh tidak terbatas, namun untungnya tidak ada yang peduli. Kantin itu masih terlalu sepi untuk didatangi siapa pun selain mereka yang memang sengaja datang pagi untuk menyempatkan diri bergosip sebelum kelas dimulai, atau beberapa senior yang ingin minum kopi dan merokok pagi-pagi.
Shaura memicingkan matanya perlahan dan memajukan posisi duduk, memilih menjadi yang pertama menyuarakan pendapatnya, “Jadi si cowok kereta…”
“Yang Keira lihat tiap pagi selalu berangkat bareng dari stasiun yang sama…” Anya ikut berujar sambil mengelus-elus dagunya serius.
Marta ikut pula memicingkan matanya, “Mata kacang terus tinggi…”
Kemudian, “…Itu Kak Ian, anak 2016.” Ditutup dengan sempurna oleh ketertegunan Rumi.
Satu-satunya yang tak bersuara kini ditatap bersamaan oleh keempatnya.
“Kalian harus banget ya ngomongnya disambung-sambung gitu.” Keluh yang mereka berempat tatap, satu-satunya yang mengunci mulut dengan menggigit-gigit sedotan es tehnya sambil meratap.
Hening dan heran yang menyelimuti atmosfer akhir pembicaraan mereka sejak Keira menutup mulut ternyata tidak lama. Keempatnya langsung tertawa terpingkal, menepuk tangan seperti simpanse gila, dan berbagai sampel acak hal-hal yang bisa terjadi pada pasien histeria.
“Berarti cowok yang diincar Keira satu jurusan dong!” ujar Anya yang bertepuk-tepuk tangan dari tadi.
Keira melongo seketika, “Gue gak ngincar…” lirihnya.
“Hebat, suka sama anak arsitek juga!!” tawa Marta.
“Enggak suka…”
“Kakak kita naksir senior!!!” Shaura bersorak.
“Bukan…”
Dan yang paling heboh, tentu saja, Rumi, “KEIRA NAKSIR KAKAK TINGKAT ARS-Mmmfffpph.”
Sebelum Rumi sempat mempermalukan Keira lebih jauh lagi, ia buru-buru membekap mulut cewek itu. Yang lain masih tertawa-tawa, bahkan Rumi yang akhirnya melepaskan tangan Keira dari mulutnya pun ikut bergabung dalam tawa yang lain.
Iya, Keira baru saja menceritakan kejadian kemarin versi detailnya pagi ini. Semalam setelah memberi tahukan kabar itu pada teman-temannya, mengira akan mendapat bunga bela sungkawa atau hal sejenis, mereka malah menyuruh Keira mem-pause cerita dan minta diceritakan secara langsung saja. Biar mantul, kalau kata Rumi.
Tapi lihat drama yang baru saja diciptakan teman-temannya ini. Benar-benar bikin malu setengah mati. Untung kantin masih beneran sepi, tidak tampak jejak orang-orang yang mungkin akan pick up pembicaraan mereka dan mulai membuat rumor baru lainnya tentang anak baru yang mengincar kakak tingkat.
YOU ARE READING
Dictionary of Giving Up
Teen FictionHarapan secara harfiah berarti suatu keinginan yang ingin dicapai. Harapan erat kaitannya dengan bergerak maju dan bertentangan dengan kata 'menyerah' atau segala sesuatu yang memiliki definisi 'mundur'. Namun di hadapan realita, harapan pun memilik...