4- Bumerang Ratapan

23 3 0
                                    

            Senin pagi. Sama sekali bukan hari yang disukai mayoritas orang, dan Keira adalah salah satunya.

Tidak hanya penanda berakhirnya akhir pekan yang singkat, namun Senin juga berarti dimulainya lagi waktu-waktu yang paling tidak disukai Keira belakangan ini.

Saat ia, lagi-lagi, harus berkutat dengan pensil dan kertas.

Selagi dirinya berjalan bersama puluhan orang lain memasuki gerbang kampus, Keira mengamati orang-orang di sekitarnya. Senyum dan tawa di wajah mereka saat bertemu dengan teman, langkah yang pasti dan tegap sembari membawa buku-buku tebal di tangan, penampilan yang masih segar karena ini masih pagi hari.

Orang-orang ini, orang-orang yang punya tujuan dan berjalan menuju tempat yang sama dengannya. Namun Keira tidak pernah tidak merasa tersesat di antara mereka. Rasanya ironis.

Kakinya menyeret langkah demi langkah dengan berat, dengan isi tas yang juga dibebani serangkaian peralatan menggambar seperti biasa; sketchbook A3 yang lembarnya masih penuh halaman kosong, sekotak pensil kayu, sekantung drawing pen berbagai macam ukuran mata, penggaris bermacam-macam ukuran, serta sekotak wadah cat air. Keira sadar benar bahwa benda-benda yang ia ingat satu per satu tersebut bukanlah yang paling membebani langkahnya saat ini.

Beban yang paling ingin dilepasnya saat ini bukanlah beban yang ada di pundaknya, melainkan yang berada di kepala dan batinnya. Tempat segala keraguannya berpusar.

Keira menggelengkan kepalanya pelan, berusaha memisahkan diri dari ratapannya sendiri. Meratap di Senin pagi yang terlalu ceria ini rasanya sangat berlebihan. Murungnya akan ia simpan untuk nanti saja.

Ia mulai memusatkan perhatian pada lingkungan sekitarnya. Mungkin di antara anak-anak kelewat ceria yang berjalan berbarengan dengannya memasuki kampus ini ia akan melihat wajah-wajah familiar. Rumi misalnya, yang keceriaannya mungkin saja akan membantu Keira menaikkan moodnya atau sifat berlebihannya malah mebuat ia semakin bad mood (dirinya tidak pernah tahu). Atau Shaura yang selalu cool dan paling mungkin membantunya menormalkan mood. Atau Anya yang sering sarkastis dan Marta yang seringkali telmi juga boleh. Ia bahkan akan menyapa dengan senang hati bila bisa bertemu dengan teman-temannya dari jurusan yang lain.

Siapapun itu, selama bukan cowok yang sedang berdiri beberapa meter darinya.

Keira mendesah pelan, "Kepagian." Desisnya pada hidup, yang seperti sedang ingin mengujinya.

Benar-benar. Dari seluruh waktu yang tersedia di dunia, harus pagi ini Keira melihatnya lagi.

Selama hampir seminggu kuliahnya kemarin, Keira tidak menangkap sosok cowok itu. Tidak saat menaiki kereta di pagi hari, tidak pula saat pulang melewati jalur komuter yang sama di sore harinya. Satu minggu ia sempat terbebas dari penasaran yang betah bercokol dan merongrongnya untuk mencari tahu siapa cowok itu. Juga dari rasa malu yang seringkali muncul tiba-tiba dan enggan pula berlalu. Pokoknya satu minggu kemarin adalah masa tenang Keira dari salah satu distraksi terbesarnya.

Namun habis masa tenang, nampaknya sang distraksi memilih untuk berorasi lagi dengan mengkampanyekan rasa penasaran Keira.

Iya sih, Keira memang malas melihatnya, tapi tiba-tiba ia kembali teringat dengan percakapan bersama teman-temannya lebih dari satu minggu yang lalu. Saat mereka berencana menginap di rumah Keira dan malah kebetulan ikut menumpang kereta yang sama dengannya dan si cowok.

Anya saat itu berkata bahwa ia merasa sering melihatnya di kampus. Kalau memang benar, cowok itu anak jurusan mana?

"Cuman penasaran jurusan enggak aneh kan ya? Kan supaya gue bisa ngehindar, biar jangan sampe ketemu orangnya kalau di kampus." Ini yang sering dibatinkan Keira kalau keponya sedang kumat, dan yang juga sedang ia lakukan saat ini.

Dictionary of Giving UpWhere stories live. Discover now