6- Kebenaran Merapat

32 3 0
                                    


"Asli, gue gak yakin gimana hasilnya nanti."

Obrolan yang dibuka oleh kata-kata putus asa Rumi di kantin siang itu kurang lebih mewakili isi kepala sebagian besar anak kelas. Mereka baru saja melakukan pengumpulan tugas dengan beban yang paling berat, yaitu Studi Perancangan hari ini.

Sebagian besar anak-anak tahun pertama melewati malam sebelumnya tanpa tidur karena menyelesaikan tugas, dan langsung dilanjut dengan ulangan mata kuliah lain paginya sebelum melakukan pengumpulan tugas UTS Studio. Beban tugas yang diyakini mereka terlalu dini untuk diberikan dalam skala UTS, tidak tidur dan juga tidak belajar banyak untuk ulangan mata kuliah sebelumnya rasanya membuat mereka jadi ingin menangis. Baru UTS pertama kali kok rasanya sudah terlalu susah. Gimana Ulangan Akhir nanti?

Keira, Shaura, Anya dan Marta tidak terlalu banyak bicara, lebih memilih memberikan perhatian mereka pada makanan masing-masing. Kalau Rumi yang biasanya optimistis dan ceria berlebihan saja sampai berkata begitu, mereka-mereka ini sudah tentu merasa lebih tertekan lagi.

"Gue pas ngerjain soal tadi saling nyontek sama Septa sih, tapi gue rasa tu anak juga gak yakin sama jawabannya." kata Anya.

Keira mengaduk-aduk mie ayam-nya berkali-kali, tapi tidak juga ia antarkan sesuap pun makanan itu ke mulut. Nafsu makannya terbang entah ke mana begitu keluar dari kelas, padahal tadi pagi dia belum sarapan dan kelaparan setengah mati dalam perjalanan dari rumah ke kampus. Mengerjakan soal-soal hitungan tanpa belajar seperti dalam ujian tadi sepertinya bisa jadi cara efektif untuk mengecilkan berat badan.

"Desain buat tugas Studio gue itu sebetulnya belum sepenuhnya disetujuin sama Pak Setyo." akunya dengan suara pelan.

Sesendok bakso yang sudah setengah terangkat Shaura jatuhkan lagi ke mangkoknya mendengar pengakuan Keira, "Kok bisa?"

"Gue masih disuruh revisi lagi sama bapaknya sampai hari Sabtu kemarin, disuruh konsultasi lewat WA karena enggak bisa ketemu di kampus. Tapi sampai hari Minggu si bapaknya enggak jawab-jawab, sementara gue belum kerjain satu lembar pun. Jadi ya udah, gue langsung kerjain aja yang desain sebelumnya. Daripada enggak ngerjain sama sekali kan? Waktunya udah mepet banget lagi.

Tapi sekarang gue jadi takut kalau tiba-tiba si bapak ingat desain gue belum dia acc, entar dia enggak mau nilai punya gue lagi."

"Tapi habis lo kerjain, ada balasan WA lagi gak dari Pak Setyo?" tanya Anya.

Keira menggeleng, "Dia enggak ada balas WA gue lagi sampai hari ini. Di-read pun enggak."

Seketika berbagai bentuk protesan keluar di meja itu. "Oh, kalau gitu tenang Kei. Lo gak salah." Kata Rumi sambil mengibaskan tangan.

Shaura mengangguk-angguk, "Bener, itu kan Pak Setyo yang kenapa enggak balas-balas WA lo." Ujarnya, diamini pula oleh ucapan Marta berikutnya, "Gawat nih si bapaknya kalau gini." Dan dilanjut serangkaian protes lain dari ketiganya yang men-support Keira.

"Tapi ya Kei," Anya yang belum berprotes kembali bersuara, "Lo juga salah kan, kenapa enggak coba WA bapaknya lagi? Mungkin dia emang enggak sempat baca WA lo yang pertama, entah udah tenggelam atau kelelep di antara chat-nya yang banyak, makanya lo harusnya WA bapaknya lagi kan?"

"Iya juga ya... kenapa gue enggak kepikiran?" Keira menunduk meresapi ucapan Anya pelan-pelan, dan seketika paniknya bertambah jadi berkali-kali lipat, "Waduh, mati beneran gue! Kalau gini udah pasti entar tugas gue enggak bakalan mau bapaknya nilai!!" ujarnya heboh.

Mood di meja itu makin gelap. Keira panik, yang lain juga tambah kepikiran dengan tugas masing-masing. Akhirnya Shaura berkata dengan pelan, "Mending lo temuin Pak Setyo terus jelasin ke dia Kei, siapa tahu si bapaknya bisa ngerti."

Dictionary of Giving UpWhere stories live. Discover now