8. Impuls, Tidak Menyenangkan

16 2 0
                                    


Kereta tujuan Jakarta Kota siang itu tidak terlalu ramai. Masih cukup banyak kursi kosong yang bisa ditempati di gerbong mana saja. Teriknya pemandangan matahari di luar, dipasangkan bersama sejuk pengatur suhu udara di dalam kereta menambah pekat kantuk dan malas yang banyak dirasakan penumpang di dalamnya. Orang-orang yang duduk hampir sebagian besar kepalanya sudah naik-turun terkantuk dengan mata yang terpejam.

Namun seorang cowok bertubuh kurus tinggi yang mengenakan jaket hoodie, dengan masih menyandang ransel di punggungnya lebih memilih untuk berdiri bersandar pada tiang yang berada dekat dengan pintu gerbong. Kedua telinganya disumbat headset, pandangannya mengarah pada pemandangan ibu kota yang biasa terlihat dari balik jendela kereta yang melaju.

Raian, cowok itu, tahu bahwa beristirahat di kendaraan umum seperti ini merupakan salah satu kesempatan langka yang harus ia manfaatkan sebisa mungkin. Waktu tidur yang tidak tetap dan seringkali tidak cukup telah melatih ia dan teman-temannya agar bisa tidur di mana saja, dalam keadaan apa pun. Ditambah lagi, di akhir pekan setelah UTS seperti ini adalah salah satu waktu yang paling melelahkan, dan sebetulnya lebih membutuhkan banyak istirahat agar siap digempur beban tugas yang lebih banyak di paruh akhir semester menjelang UAS.

Tapi ada beberapa hal yang sedang dipikirkannya sekarang, dan tidur tidak akan membantu. Cuma karena UTS berakhir, bukan berarti kuliahnya selesai. Segera setelah pengumpulan tugas Studio di angkatannya dua hari yang lalu, sang dosen pengampu mata kuliah tersebut segera mendatangkan tugas baru. Dan tugas tersebut sama sekali bukan salah satu jenis tugas favoritnya.

Ia menghembuskan napas keras, sementara bahunya melorot. Sebetulnya Raian suka hal yang dilakukannya saat ini, memandangi kota dari kereta yang melaju sembari mendengarkan lagu-lagu yang disukainya lewat ponsel. Tapi pikirannya sedang dipenuhi berbagai macam hal, ditambah lagi hasil diskusi kelompoknya di kampus tadi tidak berjalan lancar.

“Kak… Raian?”

Lamunannya terbuyarkan seketika saat mendengar namanya dipanggil, yang datang dari sosok yang entah kapan sudah berdiri di hapadannya. Ia memperhatikan sosok itu secara keseluruhan. Rambut hitam berpotongan sebahu yang dibiarkan terurai tanpa hiasan apa pun, tas selempang biru cokelat serta tabung gambar yang disampirkan di bahunya. Butuh sesaat baginya untuk mengingat-ingat siapa cewek di hadapannya ini dalam salah satu keping memorinya yang terbaru.

“Baru dari kampus Kak?” Keira, adik tingkat satu jurusannya yang mendatanginya di kelas dua hari lalu itu menyapanya dengan senyuman canggung.

Ia melepaskan salah satu headset dari telinganya, “Iya.” Raian mengangguk sekenanya.

Cewek di depannya menarik dua sudut bibirnya ke atas beberapa mili sambil mengangguk-ngangguk pelan. Untuk beberapa saat tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut keduanya lagi. Raian mengetuk-ketukan kakinya, sementara Keira melemparkan pandangan kesana-kemari, tidak lagi melihatnya.

Merasa terlalu canggung, Raian akhirnya membuka suara, “Hari Sabtu masih ke kampus?” tanyanya.

Keira mengembalikan pandangan kepadanya dengan cepat, hampir setengah terperanjat, “Eh? Oh, iya Kak.”

“Ngapain?”

“Tadi ada rapat inaugurasi angkatan.”

Raian mengangguk-angguk pelan. Waktu inaugurasi angkatan baru sudah datang lagi, dan rasanya ia hampir tidak percaya. Rasanya baru kemarin rambutnya dipotong untuk memenuhi peraturan kerapian penampilan saat OSPEK, dan sekarang dirinya sudah menjadi senior dari satu angkatan, dengan adik tingkat yang berdiri persis di depannya.

“Kak Raian masih ke kampus juga hari Sabtu?” tanya Keira.

“Iya.”

“Ngapain Kak?”

Dictionary of Giving UpWhere stories live. Discover now