8. Third

92 11 0
                                    

Senja yang muram. Setidaknya itu adalah frasa yang tepat untuk menggambarkan suasana sore di kediaman Joonhie. Setelah kekacauan besar yang terjadi, lelaki itu memutuskan untuk meninggalkan mereka. Tangisnya pecah di tengah peperangan yang sengit itu.

"Menangislah, lepaskan semuanya..." ucap Jihoon sambil mengelus punggung bergetar gadisnya. Jihoon tidak menyangka bahwa selain Joonhie suka membaca ada alasan lain baginya untuk pergi ke toko-toko buku dan perpustakaan.

Adik Joonhie yang paling besar—Jeongwoo—hanya menatap tangannya yang terluka dengan tatapan kosong. Seragam sekolahnya terlihat lusuh. Jaemmy dan Jui—adik kembar Joonhie—tak hentinya menangis. Ketiga kalinya Joonhie kehilangan sosok ayah dalam hidupnya. Dan kali ini masalah utamanya karena perempuan.

Ibu Joonhie kini masih memeluk kedua anak kembarnya dengan tangis. Sungguh kacau keadaan rumah ini. Ia tidak pernah menyangka bahwa suaminya akan melakukan hal yang seperti ini.


• • •


flashback.

Jihoon dan Joonhie sudah sampai di rumah Joonhie. Ya, Joonhie sudah berjanji akan membawa Jihoon ke rumahnya. Rumah ini layaknya rumah yang lain. Namun diam-diam Joonhie meras ragu—was-was kalau saja ada dia.

Sebelum masuk ke rumahnya, Joonhie mengecek sekitar. Ia takut kalau saja orang itu datang dengan tiba-tiba. Untung saja dia sedang tidak ada di rumah. Sekarang Joonhie bisa leluasa mengajak Jihoon berkenalan dengan seluruh penghuni rumahnya.

"Duduklah, aku akan memanggil ibuku," ucap Joonhie yang dibalas anggukan. Jihoon lalu duduk di sofa yang ada di ruang tamu itu, sementara Joonhie masuk ke dalam untuk memanggil ibunya.

Saat Jihoon sedang asyik memperhatikan seluruh sudut ruangan itu, tiba-tiba ada seorang remaja laki-laki yang masuk ke rumah. Dia memakai seragam sekolah dan menenteng tas di bahu kirinya. "Eoh—" ucap remaja itu tertahan karena terkejut melihat Jihoon duduk di sofa.

Jihoon tersenyum ramah kepadanya untuk menyingkirkan kecanggungan yang ada. "Annyeonghaseyo~" sapa remaja itu sambil sedikit membungkuk. Jihoon juga membalasnya.

Di tengah-tenggah itu semua, Joonhie datang ke ruang tamu tanpa sosok ibu. Mata kedua laki-laki itu lantas langsung berpindah fokus kepada Joonhie. "Eoh? Jeongwoo, kau sudah pulang rupanya," ucap Joonhi kepada remaja itu—Jeongwoo.

"Ah, iya kak. Sekolahku dipulangkan lebih awal hari ini," ucap Jeongwoo kepada Joonhie. "Siapa kakak itu?" tanya Jeongwoo kepada kakaknya dengan wajah polos.

"Ah, iya aku lupa. Jeongwoo, kenalkan ini Park Jihoon. Dia... err... pangeran?" Raut wajah Jeongwoo langsung berubah drastis. Dia membungkuk 90 derajat kepada Jihoon sambil terus meminta maaf.

"Hei, hei, sudahlah. Tidak perlu terus-menerus membungkuk seperti itu," ucap Jihoon dengan nada kikuk(?). Pada akhirnya Jeongwoo berhenti membungkuk, namun ia tetap menunduk dalam. Jihoon sedikit tertawa dengan kelucuan adik Joonhie ini. Sementara itu Joonhie hanya menggeleng-geleng sambil mentap adiknya.

"Maaf Jihoon, ibuku sedang tidak ada di rumah. Mungkin ibuku sedang menjemput adikku yang lain," ucap Joonhie kepada Jihoon yang tadinya masih fokus memperhatikan Jeongwoo. Adiknya yang lain... Jihoon mulai mengerutkan keningnya. Jadi Joonhie ini punya adik berapa?

Ingin rasanya Jihoon bertanya tentang hal itu, tapi yang keluar dari mulutnya adalah, "Ya tidak apa-apa."

Ada jeda canggung untuk beberapa detik di sekitar mereka sebelum Joonhie berucap, "Kau tidak mau ganti baju? Besok kau masih pakai seragam itu kan?" Jeongwoo yang baru saja teringat bahwa besok seragamnya masih dipakai menjawab, "Iya, besok masih dipakai."

"Yasudah, gantilah bajumu dan makan!" perintah Joonhie yang langsung dipatuhi oleh Jeongwoo. Tunggu... makan? Jeongwoo makan? Bukankah vampir tidak makan?

Baru setelah Jeongwoo pergi meninggalkan ruang tamu, Jihoon bertanya kepada Joonhie. "Jeongwoo makan?" tanyanya dengan nada bingung. "Iya, dia makan," jawab Joonhie santai sambil duduk di sebelah Jihoon.

"Tapi... bagaimana bisa? Vampir tidak makan," desak Jihoon yang makin penasaran.

"Ya... karena dia bukan vampir."

"Lalu dia apa? Werewolf?"

"Manusia."

Jihoon terdiam. Bagaimana bisa Joonhie yang notabene adalah vampir mempunyai adik seorang manusia?

"Kalau kamu bertanya kenapa, jawabannya adalah karena ayah Jeongwoo manusia," ucap Joonhie sebelum Jihoon bertanya. Ayah Jeongwoo.

"Bukankah ayah Jeongwoo juga ayahmu?"

"Ya, tapi bukan ayah kandung."

Jihoon mengangguk-angguk paham. Sebenarnya masih banyak yang ingin Jihoon tanyakan, namun karena dia rasa Joonhie belum mau terbuka akhinya dia diam. Jihoon berusaha mengalihkan topik, saat sebuah ide muncul.

"Di mana Fee?" tanya Jihoon.

"Oh iya. Fee tadi pergi, coba aku cari," kata Joonhie dan ia langsung pergi ke dalam.

Di dalam keheningan saat menunggu, tiba-tiba ada suara anak-anak kecil tertawa sambil berlarian. Suara itu semakin mendekat dan ternyata ada dua orang anak kecil memasuki rumah. Laki-laki dan perempuan. Mereka terdiam di pintu saat melihat sosok asing sedang duduk di sofa.

"Kenapa kalian tidak masuk—" ucapan wanita itu terhenti karena melihat seseorang yang duduk di sofa. Jihoon langsung bediri dan memberi salam. "Annyeonghaseyo.."

Wanita itu membalas salam Jihoon dan mendekatinya. "Maaf, tapi siapa kau? Teman Jeongwoo?"

"Bukan, saya bukan teman Jeongwoo," jawab Jihoon dengan nada yang halus sambil tersenyum. Kening wanita itu mengerut.

"Saya—" ucapan Jihoon terputus karena Joonhie yang keluar ke ruang tamu—tanpa Fee.

"Ibu?"

"Ah Joonhie. Sudah pulang kau, ibu kira kau akan pulang sore lagi."

"Tidak bu. Oh iya, dia Park Jihoon, dia—"

"Park Jihoon?"

Ibu Joonhie telihat sedikit terkejut mendengar ucapan anaknya barusan.

"Maaf saya tidak mengenalimu, Pangeran," ucapnya pada Jihoon dan dibalas senyum. "Tidak apa-apa, tidak masalah."

"Silakan duduk, Pangeran. Saya akan masuk dulu," ucap ibu Joonhie. Sementara Jihoon hanya duduk sambil membalas dengan senyum canggung. Dia tidak suka dipanggil 'pangeran'.

Setelah ibu Joonhie bersama dua anak kecil itu masuk, Joonhie duduk di sebelah Jihoon. "Aku tidak bisa menemukan Fee, sepertinya dia pergi bermain atau jalan-jalan," ucapnya pada Jihoon. Sedangkan yang diajak berbicara hanya mengangguk-angguk.

"Tadi itu juga adikmu?" tanya Jihoon seolah itu bukan pertanyaan berarti. Namun siapa sangkaraut wajah Joonhie semakin berubah. "Iya," balasnya dengan lemah. Kepingan memori masa lalu mulai muncul kembali. Sesuatu yang sangat tidak diinginkan oleh Joonhie. Inilah salah satu alasan Joonhie membenci kemampuan ingatan jangka panjangnya.

Jihoon merasa ada yang aneh dengan Joonhie. Dia menoleh ke samping dan mendapati Joonhie yang sedang menunduk. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu yang tidak baik. Apakah Jihoon sudah salah berbicara?

"Kamu kenapa? Apakah aku salah bicara tadi?" tanya Jihoon yang mulai khawatir pada Joonhie.

"Tidak, aku tidak apa-apa," jawab Joonhie sambil memaksakan senyumnya kepada Jihoon.

"Sebenarnya kami memang bukan saudara kandung," ucap Joonhie dengan lirih sambil kembali menundukkan kepalanya. Jihoon diam dan masih menunggu kalimat Joonhie yang selanjutnya. Ketika Joonhie hendak membuka mulut, pintu dibuka dengan keras.






°• Third to be continued •°

TREASURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang