10. Saudara?

29 2 0
                                    

Citra menatap kesal ke arah laki-laki yang kini ada di sampingnya, secara tidak terhormat ia diseret paksa ke tempat ini. Memang, Citra akui disini pemandangannya bagus, tapi ya setidaknya ajaklah dia dengan baik-baik, jangan seperti penjahat yang ingin menculik anak.

"Ngapain sih lo ngajak gue kesini?" ujar Citra akhirnya, dengan nada kesal tentunya.

Laki-laki itu melirik Citra sekilas, "bosen gue di dalem," balas Devin. Ya, laki-laki yang menyeretnya ke atap restoran adalah Devin.

Sebelum menjawab, Citra menghembuskan nafas gusar, "ya terus? urusannya sama gue apa?" tanyanya dengan nada yang tidak santai.

"Temenin gue," ujar Devin santai sambil menatap lampu-lampu yang menghiasi ibu kota.

"Makanya cari temen dong lo! gue mau balik ah," Citra hendak beranjak, tapi cekalan tangan Devin menghentikannya.

Mata mereka saling bertemu, manik mata itu, menyiratkan kesedihan, mata coklat itu terlihat sendu. Sepertinya ini bukan Devin yang Citra kenal. Mungkin Devin memang membutuhkannya saat ini. Akhirnya, Citra pun kembali duduk.

Hening...

Mereka berdua sibuk dengan pemikirannya masing-masing.

Citra menoleh ke arah Devin, lalu menunduk sambil menautkan jari-jemarinya, "Eum Dev, soal yang gue ngintipin lo itu...," akhirnya Citralah yang lebih dulu bersuara.

Devin menoleh ke arah Citra, "Oh, jadi lo ngakuin nih, kalau emang bener lo ngintipin gue," jawab Devin kemudian.

Sontak Citra langsung menegakkan posisinya,"Ih, enggak gitu, gue gak sengaja." Citra tampak kelagapan.

Devin memojokkan Citra dengan memicingkan matanya ke arah Citra.

"Ih, Devin." Kesal. Citra kesal. Kenapa Devin sangat menyebalkan.

"Ahahaha...," tawa itu terdengar sangat renyah.

'Devin ketawa? kok gue baru liat yah?' dalam hati Citra berujar.

"Biasa aja kali ngeliatinnya, ntar lo suka lagi sama gue, kan berabe." Ujar Devin dengan penuh percaya diri menyadarkan lamunan Citra.

Citra terkesiap, untuk kedua kalinya ia terlihat gelagapan di hadapan Devin, "apaan si lo, enggak kok! Siapa juga yang liatin lo, geer amat si lo jadi orang," Citra menyangkal tuduhan Devin.

Devin menoleh ke arah yang berlawanan dengan Citra, "terus dari tadi lo liatin tiang listrik gitu? Gak ada kerjaan banget sih lo." Ujar Devin kemudian.

"ih, enggak gitu juga." Citra menekuk wajahnya, seketika itu juga mood Citra turun drastis.

Setelah itu keduanya sama-sama terdiam menatap ke arah depan, menikmati semilir angin yang berhembus menerpa kulit. Disana, tampak gedung-gedung menjulang tinggi,  kendaraan berlalu lalang dan lampu-lampu menyala menghiasi jalanan ibu kota. Duduk di atap restoran, di bawah hamparan langit dengan berjuta bintang, sangat mengesankan.

Devin merogoh saku kemejanya, mengeluarkan sebuah liontin berwarna biru langit yang sempat Citra bicarakan beberapa menit yang lalu. Citra menatap tertarik ke arah liontin yang sedang di pegang Devin.

"Liontin ini punya nyokap gue," ujar Devin kemudian. Citra hanya diam, menanti kelanjutan ceritanya.

"Kata mamah, gue boleh ngasih ini ke orang yang gue sayang, seperti gue sayang sama mamah." Ujar Devin lalu mendongak ke arah langit sambil memejamkan mata.

"Ya terus?" ujar Citra dengan nada jutek, dia masih kesal pada Devin.

"Ya gapapa sih, gue cuman pengen cerita aja," Devin berujar sambil menatap liontin itu.

His Name Is DevinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang