9. Disandra

43 6 1
                                    

Freetime yang sangat panjang di sekolah, mengadakan konser dangdut bersama Kevan, berurusan dengan ketua osis dan juga kepala sekolah, sudah Devin lalui hari ini. Hari yang sangat panjang dan juga melelahkan.

Detik demi detik berganti menit, menit demi menit berganti jam, tak terasa jam tangan digital yang melingkar di pergelangan tangan Devin sudah menunjukan pukul lima sore. Menampakkan pemandangan indah di langit, salah satu pemandangan yang orang-orang senangi, senja. Ketika itu langit berubah menjadi jingga kemerahan, menciptakan keindahan tersendiri bagi penikmatnya.

Devin tengah bersiap di parkiran, mengendarai motor metic putih miliknya. Sudah saatnya ia pulang, kembali ke rumah yang selama ini ia tinggali. Ingin rasanya Devin cepat-cepat merebahkan tubuhnya di kasur empuk miliknya.

Setelah melewati jalanan ibu kota yang lumayan macet, karena jam segini adalah jadwal para pekerja dan juga para pelajar untuk kembali pulang. Devin akhirnya memasuki sebuah gerbang dengan pekarangan yang tidak terlalu luas, tapi disana cukup untuk menjadi tempat untuk bersantai.

Setelahnya, Devin langsung memarkirkan motornya di garasi, turun dari motor metic-nya tak lupa ia melepaskan helm yang tadi sempat ia pakai, mengibaskan dan menata kembali rambutnya dan ia menyampirkan tasnya di bahu sebelah kanan. Lalu ia bergegas masuk ke dalam rumah bertingkat dua yang di dominasi warna putih itu.

Saat pintu utama di buka, menampakkan ruang tamu di rumah itu dan ada pula sosok laki-laki muda yang umurnya tidak jauh berbeda dari umurnya, penampilannya sudah rapih dengan menggunakan kaos putih dibalut dengan kemeja kotak-kotak berwarna abu-abu bergaris hitam, dan dipadukan dengan celana jeas hitam dan juga sepatu kets berwarna putih. Itu sangat keren bukan.

Spontan Devin yang melihat itu mengerutkan keningnya, ia bingung apa yang sedang kakak nya ini lakukan.

"Tumben, rapih bener." Ujar Devin pada sang kakak.

Yang ditanya menoleh, dan ia baru selesai mengenakan ikat pinggang. "Kitakan mau pergi." Jawabnya.

Devin semakin bingung dibuatnya sampai-sampai kedua alisnya saling bertautan. Memangnya hari ini ia akan pergi kemana? dan setau Devin hari ini tidak akan ada acara.

Tau akan raut wajah Devin yang menampakkan ekspresi sedang bingung ia pun akhirnya menjawab kebingungan sang adik, "hari ini kan papah ulang tahun Dev, masa sih lo lupa." Sangat jengah, ia harus selalu memberitahukan Devin tentang hal ini setiap taunnya.

Jawaban yang diterima Devin sudah cukup menjawab semuanya. Hari ini adalah hari dimana ayahnya berulang tahun, dan setiap tahun di tanggal dan bulan yang sama, mereka akan menghabiskan waktu di luar, entah itu makan di restoran ataupun berjalan-jalan ke tempat wisata. Hanya ketiga laki-laki itu, sang ayah, sang kakak dan juga dirinya.

"Lo tau sendiri kan Ian gue gak inget, kecuali lo yang ngingetin gue." Ujarnya pada sang kakak, Derian.

"Ck, gue udah bosen ngingetin lo mulu tiap taun," dumel Derian. "Ya udah, buruan sono lu ganti baju!" perintah sang kakak.

Setelah perkataan itu selesai, Devin langsung ngacir ke kamarnya yang berada di lantai dua, bersebelahan dengan kamar Derian. Lekas ia mandi dan berganti baju, terpaksa niat yang sudah ia tekadkan tak jadi ia lakukan, meskipun ia rasa berbaring di kasur itu sangatlah mantap. Tapi ya sudahlah, terima saja.

**********

Jam menunjukan tepat pukul 19.00 WIB. Citra sedang asik menyantap menu baru di restoran yang biasa ia kunjungi. Hari ini ayahnya pulang dan mengajaknya beserta sang mama makan di luar, Citra sangat senang karena kedatangan ayahnya yang secara tiba-tiba. Sudah lama Citra tidak bertatap wajah langsung dengan sang ayah, pasalnya ayahnya itu belakangan ini sangat sibuk dan bekerja di luar kota, pulang paling 1 bulan hanya sekali dan itu juga besoknya langsung pergi lagi. Senyebalkan memang.

"Gimana makanannya?" tanya Dinar pada sang putri.

"Enak pah, om Galih pinter masaknya." Citra berkomentar dan tersenyum ke arah keduanya.

Galih yang duduk di sebelah Dinar pun berucap, "iya dong, siapa dulu chef-nya." Galih berbangga diri di depan anak sahabat karib nya itu.

Memang restoran yang sering Citra dan keluarganya kunjungi adalah salah satu restoran terkenal di ibu kota, dan pemilik restoran dan sekaligus chef di restoran itu tak lain adalah sahabat karib sang ayah sendiri, mereka telah bersahabat dari mereka menginjak bangku SMA.

"Alah kalau bikin yang kayak gini mah papah juga bisa, kecil." Dinar meremehkan.

Galih yang melihat itu tidak rela skill masaknya di pandang remeh, jauh-jauh belajar masak di Jerman cuman inikah yang ia dapat? dia tidak percaya. "Alah jangan sok-sok an deh lo, dulu waktu SMA lo masakin bekel nasi goreng buat Mila aja keasinan, dan gue juga yang harus ganti lagi masakan lo." Sambar Galih membuka aib sang sahabat, dia tidak peduli, siapa coba yang mulai duluan?

"Benarkah?" Mila membulatkan mata, tidak percaya. Mila tidak tau bahwa dulu yang sering memasakkannya nasi goreng adalah Galih bukan Dinar, Mila hanya tau Dinar yang memberi dan 'mungkin' juga Dinar yang memasak.

Semua orang yang ada di meja makan itu tertawa. Sontak wajah Dinar memerah, dia tersedak makanannya sendiri, malu, dia ingin sekali mengumpat tapi dia sadar dia sudah bukan lagi anak remaja seperti dulu.

"Tapi kan itu gak sepenuhnya, gue juga bantuin." Dinar tetap membela diri.

"Eitss... semuanya gue yang ngerjain, lo cuman ngiris bawang doang, dan itu juga gak banyak, karena lo keburu banjir air mata sambil sesegukan." Ucapan Galih sekali lagi membuat tawa meledak.

"Seenggaknya gue ngebantuin." Ujar Dinar kesal.

Yaa pertemuan kali ini mereka habiskan untuk membuka kisah cerita di masa lalu. Citra? ia hanya menjadi pendengar, sesekali tertawa karena Galih yang selalu menyudutkan Dinar di depan Mila.

Karena terlalu banyak minum, Citra jadi ingin ke toilet, dia pamit terlebih dahulu kepada mamah, papah dan juga om Galih disana.

**********

Selesai dari kamar mandi, Citra merapikan dress selutut berwarna biru dongker yang sangat cocok saat Citra pakai.

"Hah, lega." Ujar-nya hendak melangkah, tapii...

Seseorang dari belakang membekap mulutnya, dia diseret paksa oleh orang misterius yang ia tidak tau siapa, ia pun tidak bisa melihat wajahnya karena tertutup oleh masker hitam. Citra meronta dan berusaha melepas bekapannya. Tapi dia tidak bisa, tenaga orang itu terlalu kuat untuknya. Sehingga ia hanya bisa pasrah dan berdoa semoga Tuhan masih menyayanginya dan tidak membiarkannya mati di tusuk atau dicincang, dan jangan sampai ia dijual menjadi budak.

_
_
_
_
_

**********

Hallo gaise lama tidak berjumpa:), seneng ya ketemu author lagi😁

Dari Pengagum Rahasia :v

"Apaan si lu thor🙄"
"Ge-er😕"
"Malesin😒"

Haha, dan yang gue lakukan cuman ngomong sendiri, oke fiks😐

Gak ada pesan banyak dari author cuman jangan lupa aja buat ngasih bintang di cerita ini yaa😊, love you gaise😍🤗

"Jangan lupa, terus berjuang buat bikin dia peka." :)


His Name Is DevinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang