8. Tertangkap basah

49 7 2
                                    

Seorang remaja laki-laki dengan rambut acak dan seragam yang juga berantakan, memperlihatkan kesan nakal yang kentara di dirinya. Ia tengah duduk menyendiri di salah satu bangku taman belakang sekolah. Tidak banyak yang berlalu lalang karena pasalnya jamkos lebih dimanfaatkan anak-anak SMA GALAKSI untuk mengisi kebutuhan perutnya di kantin.

Kini, Devin tengah asik menatap langit, mengembalikan ingatan masa lalu yang terulang kembali dimemorinya. Perlahan ia mengangkat dan melipat kedua tangannya, menjadikannya sebagai sandaran kepala, dan ia pun mulai memejamkan mata di bawah langit biru itu.

Flassback on

"Abang, adek, udah dulu mainnya." Teriakan wanita berumur 30 tahun-nan itu berhasil menghentikan aktivitas kedua anak laki-lakinya.

Mereka berdua berlari menghentikan aktivitas kegemaran mereka, yaitu bermain sepak bola di halaman rumah, karena sang ibu sudah memanggil.

Tepat saat kedua putranya mendekat ke arahnya, sang ibu langsung mengelap peluh yang ada di kedua wajah putranya itu, memberikan mereka masing-masing segelas es jeruk dingin, terlihat sekali bahwa wanita itu sangat menyayangi kedua putranya.

"Kemarilah nak!," perintah sang ibu kepada kedua anaknya sambil menepuk kedua pahanya bermaksud agar kedua anaknya menyenderkan kepala mereka disana.

Kedua anak itu menurut pada sang ibu, sehingga sekarang posisi keduanya berbaring menatap ke arah langit.

Sang ibu berbicara dengan mengelus puncak kepala kedua putranya, "lihatlah...," ia mendongak menatap langit, "cantik bukan?" dan ia berkata sambil tersenyum.

"Ia mah, langitnya cantik," respon sang anak yang lebih tua, saat itu usianya baru 7 tahun, dan adik laki-lakinya hanya berbeda satu tahun dengannya.

Sang adik yang berada di sebelah, sekilas menoleh ke arah kakaknya. Sifatnya memang sedikit cuek, tapi bukan berarti ia tidak peduli.

"Kenapa mamah suka langit?" itulah tanggapannya kepada sang ibu.

Maira, ibunda sang anak, menatap sekilas pada anak bungsunya itu dan kembali menatap langit. "Mamah gak tau persisnya kenapa, tapi kalau tiap kali mamah liat langit, rasanya tenang, beban pikiran mamah langsung lenyap," tuturnya.

Hening, dan Maira melanjutkan perkataannya, "lihatlah...," ia menunjuk ke atas lebih tepatnya ke arah awan, "awan, akan selalu ada untuk langit, meskipun kadang ia tidak terlihat ketika gelap datang, tetapi ia tetap ada disana bersama langit. Sama seperti mamah, yang akan selalu ada untuk kalian, meskipun mamah tidak terlihat di samping kalian." Kedua putranya mendongak memperhatikan ibunya yang sedang berbicara, lantas mereka membenahi posisi mereka menjadi duduk di samping kanan dan kiri sang ibu.

"Mamah ingin apapun yang terjadi, kalian berdua akan saling menjaga satu sama lain," ujar sang ibu seperti sebuah pesan.

"Tenang saja mah, tidak perlu khawatir, aku akan menjaga abang," ujar si putra bungsu sambil mengepal dan menempelkan tangannya di dada.

"Itu terbalik Dev, akulah yang akan menjagamu, aku kan abang," ujar sang kakak sambil menirukan perkataan dan logat bahasa upin kepada ipin.

"Iyeulah tuh," balas sang adik mengikuti logat bahasa yang dikatakan ipin kepada upin disertai gelak tawa ketiganya.

Sore itu, di bawah langit senja, sebuah kenangan telah tercipta.

Flassback off

Devin tersenyum mengingatnya, itu adalah salah satu kenangan yang membahagiakan dalam hidupnya. Mata Devin perlahan mulai terbuka, penglihatannya masih terlihat remang-remang karena terkena sinar matahari. Tangannya terulur mengambil sebuah benda yang ada di dalam saku kemejanya. Sebuah kalung liontin berwarna biru langit milik Maira, ibunya. Masih dalam posisi duduk bersandar, perlahan ia mengangkat liontin itu ke atas, di lihatnya diantara langit yang berawan.

His Name Is DevinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang