2. Gue Gak Butuh Aturan

126 45 6
                                    

"Aturan", bodo amat sama aturan. Toh tanpa aturan juga gue masih bisa hidup, dengan aman, sehat, sentosa. Devin Leonard_

◽◽◽◽◽

Devin Leonard, laki-laki tampan yang berperawakan tinggi dengan kulit yang tidak terlalu putih itu mempunyai hidung yang mancung dan juga mata yang indah.

Kini ia tengah berjalan di antara lorong-lorong kelas dengan rambut yang sengaja ia acak-acak, seragam yang tidak ia kenakan kancingnya membuat kaos hitam yang ia kenakan terlihat, tangan kanannya memegang tas yang ia sampirkan di sebelah pundak kanannya, sementara tangan kirinya ia masukkan ke dalam saku celana cutbraynya, dan tentu tidak terlewatkan sepatu kebanggaanya, dengan warna tali yang tidak selaras. Semua itu membuat penampilannya terkesan nakal.

Mau diperingatkan panjang kali lebar kali tinggi pun tetap saja, tidak akan mempan, ia akan menganggap itu hanyalah angin yang berhembus ke daun telinganya.

Ia tak pernah peduli pada aturan, tak pernah peduli dengan apa yang dikatakan orang-orang disekitarnya. Ia sangat jarang memperlihatkan lengkung di bibirnya. Senyumannya limited edition, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihatnya.

Meskipun begitu, tak sedikit kaum hawa yang tertarik pada aura yang dimilikinya. Ketika ia berjalan melewati mereka, mereka seakan seperti cacing kepanasan yang kehilangan kesadaran.

Di saat ia akan berjalan melewati mading sekolah, nampak ada dua orang anak kelas tentangganya yang amat sangat ia kasihi, mereka tengah asik memperhatikan mading.

Dengan santai ia berjalan, tak memperdulikan kedua orang tersebut. Tetapi kedua orang tersebut yang mengubris kehadirannya.

"Widihh... tumben-tumbenan, baru jam segini berandalan GALAKSI udah dateng aja." Ujar Rio (ketua kelas XI IPA 1) sambil menyenggol lengan teman di sebelahnya.

Teman di sebelahnya hanya terkekeh.

Awalnya Devin tak ingin memperdulikan omangan unfaedah itu, tetapi saat Rio melanjutkan ucapannya, emosinya mulai tersulut.

"Tuh penampilan udah kayak preman aja. Gak pernah diajarin apa ya sama bokap, sama nyokapnya. Atau mungkin dia anak pungut yang di temuin di depan rumah, dan sekarang gak dipeduliin sama orang tua asuhnya." Rio menertawakan ucapannya sendiri dan sengaja memancing emosi Devin.

Mendengar ucapan itu, Devin menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap kedua orang tersebut.

"Maksud lo apa ngomong kayak gitu." Suaranya naik satu oktaf.

Rio berbalik dari kesibukannya, melangkah menghadap ke arah Devin dengan senyum miring di wajahnya, "Emang gue ngomong sama lo ya?. Oh, atau lo ngerasa?" ujar Rio sambil berkacak pinggang.

Devin hanya diam, menatap tajam kearah Rio.

Dengan suara lantang Rio berujar, "Emang kenyataannya kan?, lu itu anak pungut!, yang gak diharapkan buat dilahirin." Rio berujar tanpa memikirkan perasaan orang yang ada di dihadapannya.

Amarah Devin semakin tersulut, "Heh, lo denger baik-baik. Lo itu gak tau apa-apa, jadi lo diem aja, jangan banyak bacot." Ujar Devin sambil menunjuk-nunjuk ke arah lawan bicaranya.

Devin ingin beranjak, namun ia urungkan dan melanjutkan ucapannya, "dan lagi, mulut lo gak pernah di sekolahin ya?, pantesan aja gak punya etika." Devin terkekeh meremehkan.

His Name Is DevinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang