14. Damn!

2.1K 320 50
                                    

Putra yang menyetir, dia gak biarin gue bawa mobil kali ini. Ya gue juga paham sih, tangan gue gemeter gak berhenti.

Gue gak tau, apa yang akan gue temuin saat kami berada di lokasi yang diberikan Keira itu. Gue takut, asli.

"Santai Vin, Kalya sama Bang Aiden otw juga kok,"

Gue mengangguk, saking tengangnya gue malah gigitin kuku jari tangan gue sendiri, gue bahkan gak peduli saat setengah dari kuku di jari telunjuk gue itu lepas. Yang penting ini degdegan bisa tersalurkan sedikit gitu.

Satu setengah jam di jalan, kami sampai di lokasi yang diberikan Keira, sebuah bangunan tak terpakai di pinggiran kota. Asli sih, tempat ini masih masuk Bogor aja gue gak tau.

Keluar dari mobil, gue memandang sekitar, Putra juga sudah turun, ia berada di samping gue.

"Tanya bapak itu aja yuk!" Ajak Putra, gue gak melihat, ternyata ia menunjuk ke bapak tua yang sedang duduk santai di bawah pohon kelapa yang ada di pekarangan bangunan ini.

Kami mendekat, dan saat melihat gue dan Putra, bapak yang mengenakan sarung dan peci haji itu langsung berdiri.

"Siapa yak?" Tanya bapak tersebut.

"Mau tanya-tanya Pak." Ujar Putra kalem, sementara gue masih belum bisa bersuara.

"Tanya apa?" Suara bapak ini berubah jadi defensif, gue gak ngerti, saat ini lebih gemeteran gue atau dia.

"Ini tempat apa ya?" Putra menunjuk bangunan di samping kami.

"Gak tau, saya mah cuma duduk ngaso di sini!"

"Gini Pak, kita di-shareloc sama temen nah lokasinya tempat ini, tapi gak tau juga maksudnya apa." Jelas Putra.

"Syelok teh naon?? Gak ngerti ah!"

"Bapak tau siapa yang punya tempat ini?"

Belum sempat menjawab pertanyaan Putra, kami menoleh karena sebuah mobil datang, Bang Aiden dan Kalya sampai. Gue melirik pak tua ini, mukanya jadi pucet dan terlihat sekali ia menyembunyikan tangannya yang bergetar di balik saku bajunya itu.

"Mana Keira, No?"

"Kita juga baru sampe, Kalya." Jawab Putra.

"Kalian teh siapa?" Tanya bapak ini takut-takut saat kami berempat berdiri di hadapannya.

"Nyari orang Pak, adek saya! Dia kirim alamat ini!" Jawab Kalya tegas, dengan nada galaknya tentu saja.

"Waduu, saya kurang tau kalo itu." Jawab bapak ini, tapi asli, mukanya kok pucet yaa??

Gue melihat Kalya akan membuka suara ketika kami semua tersentak mendengar suara pintu yang digedor gitu, tapi di sini gak ada siapa-siapa selain kami.

Horor ihh.

Aiden, suami Kalya yang sigap itu langsung berbalik, berlari menuju bangunan tua ini. Putra ikut bersamanya sementara gue masih terpaku di tempat ini, bersama Kalya.

"Eh kampret, jangan sok polos ya lu tua bangka! Kalo sampe lo tau sesuatu soal adek gue, gue mutilasi 16 bagian yaa lo!" Seru Kalya kepada bapak ini, membuat mukanya yang sudah pucat makin memutih.

Otak gue seperti mati sesaat, gue gak tau harus berpikir apa ketika berbalik dan melihat Aiden menggendong seseorang di bahunya.

Gue gak mau percaya kalau itu Keira. Gak, gak mungkin itu Keira. Dia kenapa sampai harus berakhir seperti itu dan di tempat ini??

Di samping gue, Kalya menjerit, ketika ia ingin lari, gue menahannya, memeluknya.

"Kal, lo lagi hamil, gak boleh stress." Otak gue mulai bekerja, secara sistematis, gue sudah tau apa yang harus dilakukan, karena histeris seperti Kalya bukanlah pilihan.

DESTINASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang