18. Pulang

1.8K 334 18
                                    

"Nunggu Bang Aiden dulu." Kata gue, Keira udah maksa banget minta pulang, katanya mau istirahat di rumah aja.

"Lama banget kok ya??!"

"Ya sabar, oh iya, kamu mau di mobil aku atau di mobil Bang Aiden."

"Sama kamu, boleh?"

"Boleeh banget." Jawab gue sambil mengangguk senang, dan dibalas dengan senyuman manis oleh Keira.

Tak berapa lama, pintu ruang inap dibuka, Aiden masuk bersama seorang perawat yang membawa kursi roda.

"Dia bisa jalan kok, Mba. Gak pake itu." Kata gue, Keira mengangguk.

"Ini minta dilepas infusnya aja." Pinta Keira.

"Oh ini harus sampe habis, Mbak."

"Iya Dek, Kakak udah minta perawat dateng ke rumah kok, maleman." Jelas Aiden.

"Jadi aku bawa-bawan infusan ini? Tiangnya?"

"Udah, aku pegangin aja Kei." Usul gue.

Agak ngaco sih emang, segala infusan dibawa ke rumah, padahal kalo mau cepet abis mah di-uyub aja gitu yaak? Jadi gak usah ribet.

"Udah kan, Kak? Bisa pulang sekarang, aku sama Kak Vino ya?"

"Lha? Kamu gak mau sama Kakak aja?"

"Udeh ah berisik, dia mau sama gue kok."

"Heu, yaudah, hati-hati lu bawa mobilnya."

"Oh yo'i, siap Kakak Ipar."

"Dihhh!" Aiden melihat gue dengan tampang kesal.

Menuntun Keira, tangan kanan gue angkat tinggi-tinggi biar infusannya masih tetep menetas dari tempat tinggi ke tempat rendah, sementara tangan kiri gue digandeng sama Keira.

Aiden nemenin kita sampai mobil, dia bahkan yang punya ide gantungin infus ke pegangan di atas pintu mobil. Cakep emang idenya, cerdas.

"Hati-hati!"

"Siap Bang Widi!"

"Apa sih Kei, gak jelas deh."

"Hahahaha!" Baru lagi gue liat Keira tertawa, dan itu terdengar menyenangkan, mendamaikan telinga gitu deh.

Aiden sudah pergi, hanya sisa gue dan Keira. Gue menjalankan mobil keluar dari parkiran rumah sakit, mengemudi menuju rumahnya Keira.

"Kak?"

"Euy??"

"Semalem Ibu cerita sama aku, bener kita mau nikah?"

Gue menoleh sebentar, tersenyum lalu mengangguk.

"Kamu mau kan?" Tanya gue.

"Tapikan, Kak..." Gue paham kenapa Keira gak melanjutkan ucapannya.

"Aku gak bakal rela Kei kalo kamu nikah sama si Bangsat itu cuma perkara tanggung jawab doang mah, Kalya juga sempet debat sama aku, kata dia prihal norma agama apalah itu, harus si Bangsat itu yang tanggung jawab, fuck the religion then, aku bukan hamba yang taat, aku gak tau dosa aku segimana ke Tuhan, tapi aku peduli sama sesama manusia, aku mau tanggung jawab meskipun itu bukan kewajiban aku. Dan aku harap, kamu nerima aku, Kei." Jelas gue, semoga aja Keira menanggapi serius ucapan gue barusan karena pandangan gue fokus ke jalan, bukan kepadanya.

"Kenapa Kak-Vin bisa nerima? Jujur yak, aku gak bisa nerima kalau aku hamil."

Gue menoleh sesaat karena mendengar kepedihan dalam suaranya Keira.

"Wajar Kei kalo kamu gak bisa nerima, kamu diperlakukan tidak menyenangkan, dan kamu hamil dari orang yang gak kamu inginkan, hal terakhir yang kamu inginkan itu pasti gak ada bekas dari si Bangsat yang tersisa, eh malah nyatanya..."

DESTINASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang