21. Menerima

1.6K 286 7
                                    

Memastikan semua pintu dan jendela terkunci, gue naik ke lantai dua. Saat menapaki anak tangga satu per satu, gue menarik napas panjang, mempersiapkan diri bicara pada Keira.

Membuka pintu kamar, pandangan gue langsung tersita oleh Keira yang meringkuk, gue mendengar isak tangisnya dan itu terdengar sangat sedih sekali.

"Kei! Jangan nangis ahh!" Kata gue pelan sambil mengelus rambutnya.

"Kok bisa ya??" Ucap Keira di sela tangisannya.

"Aku juga gak tau, lagian, aku gal begitu denger dokternya jelasin apa aja."

"Meninggal, Yaang. Manusia yang harusnya tumbuh, lahir dengan selamat tapi malah---" Keira bahkan tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

"Kei... tadi Kalya nanya sama aku." Gue berhenti, Keira mendongkak, menatap gue dengan matanya yang banjir. Langsung saja gue mengusap air matanya.

"Apa? Kakak bilang apa?"

Gue diam, gak enak juga nanyanya. Harusnya gak usah bahas aja tau gitu. Lagian, Keira kayanya sama sedihnya kaya gue.

"Engga, Kalya gak bilang apa-apa."

"Kakak bilang apa, Vinoo???!" Serunya tegas.

"Ehmmm, gimana yak? Kalya curiga kamu ngapa-ngapain janinnya." Jelas gue, anjir lah tegang gini gue.

"Gila!"

"Iya, aku tau kamu gak bakal kaya gitu."

"Gak, kamu setuju kan sama Kakak?? Buktinya kamu omongin ke aku!"

Kan, salah. Kudunya dari awal gue gak usah bahas. Jadi gue deh yang kena.

"Engga, aku gak sepemikiran sama Kalya."

Keira menatap gue dengan mata basahnya itu. Dia yang nangis, hati gue yang bedarah-darah liatnya. Gak tega aja dia kaya gini.

"Aku emang gak suka Vin sama keadaan ini. Aku marah pas tau kalau aku hamil. Tapi aku gak pernah berniat jadi pembunuh!" Ucapnya tegas kemudian keluar dari kamar.

Gue bangkit berdiri, mengikutinya dan ternyata Keira langsung membanting pintu kamar yang ada di seberang.

Lha?
Ini berantem kita pertama kayanya. Gue selalu penasaran, saat menikah apa yang akan didebatkan pertama kali, gak nyangka malah debatin begini.

Mengetuk pintu kamar, ternyata pintunya langsung terbuka karena tidak terkunci. Di dalam kamar kedua yang dingin karena jarang terisi ini gue melihat Keira meringkuk.

Gue mendekat, menarik nafas panjang, lagi-lagi berusaha menerima takdir yang dilemparkan tuhan untuk gue jalani.

"Hey, maaf ya?!" Kata gue saat naik ke kasur, berbaring berhadapan dengannya.

Keira gak banyak bicara, ia tetap menangis dan gue pun memeluknya mendekat. Membiarkan ia menangis, tapi tidak sendirian.

***

Pagi harinya, ketika gue bangun, kasur yang gue tempati sudah kosong. Beranjak ke kamar mandi, gue tidak menemukan Keira di lantai dua ini.

Turun, gue tersenyum saat melihat istri gue ini sedang berada di dapur.

"Sarapan ayok Vin."

Gue mengangguk.

"Siap-siap gih."

"Hah? Ke mana?" Tanya gue sambil memakan roti bakar bikinan Keira.

"Ke rumah sakit, kata dokternya harus dikeluarin kan?"

DESTINASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang