Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi

Chapter 5

241K 11.9K 635
                                    

Antari tiba di depan perusahaan yang menaunginya. Namun, dia belum turun karena Batara menyodorkan paper bag kepadanya. Keningnya berkerut sambil menatap Batara.

"Ini oleh-oleh untuk kamu. Kemarin saya baru pulang dari Seoul."

"Makasih banyak ya, Pak. Ngerepotin aja dikasih oleh-oleh segala. Kalau gitu makasih juga atas tumpangannya, Pak. Saya turun, ya."

"Iya, Antari. Nggak perlu bilang makasih. Saya senang, kok."

Antari turun dari mobil yang menjadi tontonan seantero perusahaan. Beberapa orang yang bekerja pada lantai yang sama dengannya, langsung berbisik-bisik. Antari yakin setelah semua orang menyadari sosok yang mengantarnya adalah Batara Dinata, pasti akan ada gosip yang tersebar secepat virus.

Batara menurunkan kaca jendelanya. Sambil tersenyum dan melambaikan tangan, dia berkata, "Semangat kerjanya ya, Antari. Saya duluan."

Antari melambaikan tangan sambil ikut melempar senyum. Dia tetap berdiri sampai mobil Porsche itu melaju pergi. Baru Antari berbalik badan, dia menabrak tubuh seseorang. Dia terkejut. Lebih terkejut lagi saat mengetahui sosok yang ditabrak adalah Dimas.

"Batara Dinata? Kok bisa nganterin kamu? Apa jangan-jangan kamu suruh?"

Antari menghela napas. "Masa saya nyuruh Pak Batara antar saya? Pacar bukan, teman bukan. Nggak sengaja ketemu jadinya bareng. Nuduh terus dosa tau, Pak. Bisa kena azab kubur!"

"Ya siapa tau kamu maksa dijemput. Itu dia kasih apa? Hadiah?"

Antari ingin marah. Masa dia segila itu nyuruh seorang bos jemput dia? Akrab juga tidak. Benar-benar Dimas Haritama mulutnya. "Rahasia. Saya naik duluan ke atas, Pak." Antari meninggalkan Dimas. Belum seberapa jauh, langkahnya terhenti mendengar teriakan yang cukup keras. Antari menoleh ke belakang mendapati Batara berlari mendekatinya.

"Antari! Tunggu dulu!" Kini Batara berada di depan Antari sambil mengambil napas yang tersengal-sengal sebelum akhirnya bicara. "Saya lupa minta nomor kamu. Boleh saya minta nomor kamu?" Batara mengulurkan ponselnya sambil memasang senyum lebar.

"Boleh kok, Pak. Sebentar." Antari mengambil ponselnya, lalu mengetik dua belas digit nomor ponselnya. Setelah itu, dia mengembalikan ponsel tersebut kepada si pemiliknya. "Saya udah tulis nama saya, Pak. Namanya Antari Satwika. Takutnya ada banyak nama Antari di kontak Pak Batara. Jadi saya tulis nama lengkap saya."

Batara terkekeh pelan. "Ada-ada aja. Kontak perempuan di ponsel saya cuma tiga. Ibu saya, sekretaris saya, dan kamu. Jadi nggak ada yang namanya Antari selain kamu."

Antari tersipu malu. Cara bicara Batara berbeda dengan Dimas yang sebentar-sebentar mengajak berantem. Suaranya tenang, dan meneduhkan kayak payung. Coba Dimas, mulutnya ketus dan berbanding terbalik dengan Batara yang lebih sopan. Memang sama-sama kaya, tapi kelihatan mulutnya beda kelas.

Aduh... Pak Batara nih bikin gemes. Senyumnya, suaranya, semuanya, batin Antari.

"Saya duluan, ya. Makasih nomornya. Oh ya, semoga kamu suka oleh-olehnya. Sampai ketemu lagi, Antari," pamit Batara, yang kemudian bergegas pergi.

Kejadian itu mengundang rasa penasaran. Seorang Batara Dinata, yang jarang datang ke perusahaan Dimas kalau tidak ada urusan penting, mendadak muncul. Beberapa perempuan yang menyadari kejadian itu langsung gigit jari, sekaligus berteriak iri.

Batara yang sempat berpapasan dengan Dimas, hanya melempar senyum sambil menepuk pundaknya. Dimas merasa cemburu. Kepala dan hatinya langsung panas. Berasap-asap seperti air yang baru mendidih di dalam teko.

Apa-apaan sok ganteng gitu, datang lari-lari terus minta nomor? Lo pikir lagi syuting film romansa! batin Dimas kesal.

Dimas harus berbuat sesuatu. Dia menyadari ada rona merah yang terlihat di pipi Antari selepas kepergian Batara. Dia tidak boleh membiarkan Batara sialan itu sering-sering bertemu sekretarisnya. Tidak. Dengan langkah cepat, Dimas menyusul Antari yang hampir mencapai lift. Begitu tiba di depan lift Dimas mengeluarkan ide briliannya. "Minggu depan ikut saya ke Bali. Ada proyek yang harus diurus selama seminggu di sana."

Antari meneleng ke samping. "Saya ikut Bapak? Tumben. Biasanya ngajak Rama atau Hana, Pak."

"Suka-suka saya mau ngajak siapa."

"Tapi, Pak, saya nggak—"

"Nggak ada tapi-tapi. Harus ikut."

Antari mendengus sebal. Aduh, Sabtu depan dia ada janji sama Batara. Kenapa harus seminggu full ikut Dimas? Apa bosnya bisa menebak rencananya minggu depan sampai waktunya benar-benar pas?

Begitu pintu lift terbuka, Dimas menerobos masuk. Ketika Antari hendak masuk juga, kalimat Dimas menggagalkan niatnya. "Liftnya penuh. Kamu tunggu lift lain aja sana."

Dan pintu lift langsung ditutup Dimas. Padahal jelas-jelas masih muat untuk dua sampai tiga orang, lantas dia disuruh menunggu lift lain yang masih di lantai atas? Gila! Benar-benar gila!

Kesal mendengar ucapan bosnya, Antari melepas sepatu heels, lalu melemparnya ke arah lift. "Dasar bos gila!"

*****

My Boss's BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang