~6~

14 2 0
                                    

Sudah pagi lagi, dan aku harus kembali dengan rutinitasku. Seperti biasa aku sedang menaiki bus, aku duduk dibagian tengah dekat dengan jendela. Hari ini bus tak seramai biasanya, jadi aku bisa mendapatkan tempat duduk. Kepalaku bersandar pada jendela kaca, pikiranku kembali melayang pada kejadian semalam.

Aku menghela napas, rasanya lama-lama aku tersiksa jika terus seperti ini. Aku tersadar saat seseorang duduk tepat disampingku, tapi aku enggan menoleh dan masih menyandarkan kepalaku.

"Pagi-pagi udah loyo"

Suara ini, jangan bilang aku berhalusinasi. Aku tak menggubris dan masih anteng dengan pikiranku.

"Mikirin apa?"

Sepertinya ini nyata, akhirnya aku menoleh dengan kepala ku yang masih bersandar. Jino tersenyum, karena kaget aku sampai terkatuk pada jendela.

"Adu..." ku mengelus kepala yang berdenyut.

"Eh lo gak papa?" tiba-tiba tangan jino terulur dan mengelus dahiku. Aku terpaku, apa yang dia lakukan?

"Dahi lo merah, pasti sakit ya? Sorry buat lo kaget " tangannya masih mengelus dahiku seraya meniup-niupnya.

"Ah...gak papa" aku terlalu terkejut, sampai-sampai bingung harus berbicara apa.

"Gue punya salep, tapi ntar aja kalo udah nyampe" aku hanya mengangguk, mencoba menormalkan ketidakwarasan ini.

Bus berhenti, para penumpang berdiri dan saling berdesakan untuk turun. Sekali lagi aku dibuat jantungan oleh jino. Dia menggenggam tanganku, aku sedikit terhuyung kesana kemari tapi untungnya ada jino. Dia terus menuntunku melewati desakan orang-orang, aku tersenyum dibalik punggungnya.

"Jangan ke kelas dulu, kita ke taman" ia mengintrupsi ketika kami menapaki lantai halte. Aku yang melongo hanya ikut saja apa kata jino dan tanganku masih ia genggam.

🌥🌥🌥

Kami duduk dibangku taman, jino mencari-cari sesuatu didalam tasnya. Ia tersenyum ketika benda yang ia cari ketemu.

"Mana yang sakit?" ternyata jino mengeluarkan salep. Aku tertegun dengan perhatiannya.

"Tuh kan bengong lagi, jangan-jangan lo gagar otak" entah wajah terkejutnya membuatku ingin tertawa.

"Ngawur" aku terkekeh.

"Mana sinih!" ia mendekat, mengelus dahiku yang memerah.

Jino kau membuatku serasa diujung tanduk. Jangan terlalu dekat, bisa-bisa kau membunuhku. Jantungku tak usah ditanya, rasanya dia sudah turun kebawah.

Jino mengoleskan salep didahiku, aku sedikit meringis. Dia meniup-niup dahiku. Aku terpaku pada kelembutannya, sangat hati-hati. Bolehkah aku berbesar hati?

"Jino..."

Kami serentak menoleh, dalam hati aku mengutuk gadis itu. Dia datang disaat yang tidak tepat. Kali ini ekspresi jino kembali seperti semula, muka dingin.

"Apa lagi?" jino memasukan salep ke dalam tasnya.

"Lo lagi ngapain sama cewe itu?" jesica menunjuk diriku.

"Bukan urusan lo"

"Lo masih marah? Maaf gue gak bermaksud buat bohongin lo. Gue cuma pengen ditemenin, karena belakangan ini lo selalu bilang sibuk" jesica mendesah.

Aku hanya duduk diam, aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Apa itu soal kemarin? Pas jino buru-buru pergi.

"Ayo dira" jino menarik ku. Baru selangkah suara jesica terdengar kembali.

"Gue lakuin ini karena gue suka sama lo, dan entah kenapa lo makin ngejauh dari gue. Jino gue suka sama lo"

Kami berdua membeku, aku lemas. Ku sudah menduga dari awal kalo cewek ini suka sama jino. Tapi tak pernah terbayang dia bakal mengakuinya didepan mataku.

"Dira lo ke kelas duluan aja" jino melepas tangaku, aku tak rela dia melepas tangaku. Pikiranku sibuk dengan apa yang akan mereka bicarakan. Bagaimana dengan jawaban jino?

Aku menatap jino sendu, ia juga menatapku. Ia menagnggukan kepalanya seperti bicara kalau dia butuh bicara berdua. Dengan langkah berat, aku meninggalkan mereka berdua. Hatiku benar-benar risau.

🌥🌥🌥

Ternyata benar ya kata orang, jangan terlalu bahagia dulu didepan pasti kesedihan sedang menunggumu. Sudah berberapa hari ini aku tak bertemu dengan jino. Bahkan ia tak ada ditaman seperti biasanya. Setiap sore aku selalu menunggunya, senja pun datang tanpa membawanya. Mungkin dia sudah menerima perasaan jesica dan melupakan aku yang bukan siapa-siapa.

Aku mendesah, menatap langit yang sudah mulai berwarna orange. Berdiri di halte sendirian menunggu bus yang etah kapan datang. Kakiku menendang-nendang angin, tubuhku sudah tak bisa diam. Kesal dan bosan menunggu. Aku menoleh ke arah barat dimana letak matari terbenam. Karena silau mataku samar-samar melihat seseorang mengayuh sepeda tengah mengarah kesini.

Ketika ia mulai mendekat aku menyipitkan mata, mencoba memastikan bahwa aku kenal dengan siluet itu. Dia semakin mendekat dan aku terbelalak, dugaanku benar bahwa aku mengenalnya. Siluet itu adalah jino. Sosok yang bebarapa hari ini membuat hatiku gundah, sekarang dia muncul didepanku dengan sepedanya bak pangeran berkuda putih.

Tanpa sadar senyum ku menguar begitu saja, dan yang membuatku terharu dia membalas senyumku. Wajahnya bersinar diterpa cahaya senja. Ternyata senja selalu membawa keajaiban bagiku, ia selalu membawa sumber kebahagiaanku.

"Mau pulang?" tanpa kusadari, jino sudah berdiri didepanku.

Tanpa mengulang pertanyaan kedua kalinya, aku mengangguk tanpa ragu.

"Ayo naik!"

Kini aku tak peduli lagi dengan rasa gengsiku, aku begitu bahagia. Sampai-sampai akal warasku tak berfungsi, kini hatiku yang menguasai segala tingkah laku ku.

"Baru keliatan, kemana aja?" suaraku memecah keheningan, ditengah perjalanan.

Jino sedikit menoleh, dan aku meliriknya dari balik punggungnya "gue ada kok, tapi setiap istirahat gue selalu dikelas."

Aku hanya mengangguk, tapi aku penasaran. Apakah ia sudah berpacaran dengan jesica?

Aku mengeratkan pegangan pada jaket jino "gimana kabar jesica?"

Jino diam, apa aku bertanya terlalu jauh?

Tiba-tiba jino menghentikan sepedanya dipinggir jalan, tepat diatas jembatan yang dibawahnya terbentang laut lepas.

"Kenapa kita berenti?" keningku mengkerut.

Aku turun dari sepedanya, ia menarik sepedanya ke pinggir. Tanpa berbicara ia berjalan ke arah pinggir jembatan. Menatap laut yang luas. Aku mengikutinya, tanganku berpegangan pada pagar pembatas.

"Maaf"

Jino menoleh ke arahku, ia menarik alisnya. Seperti orang bingung.

"Maaf...karena udah lancang nanya soal jesica" lanjutku.

Aku mengrenyit heran saat jino tersenyum memandangku.

"Kenapa minta maaf, itu bukan kesalahan lo" kini jino sempurna menghadap kearah ku.

"Gue gak mungkin nerima perasaan dia, jesica ya cuma sahabat gue. Gak lebih, gue gak mau persahabatan gue rusak gara-gara cinta" sorot matanya tampak teduh.

"Dan juga gue udah suka sama seseorang" jino mendekat, aku sedikit kaget dengan gerakan tiba-tibanya.

Entah apa yang jino lihat, dia menatapku dalam-dalam. Kemudian dia tersenyum, aku hanya menatapnya bingung. Dan jantungku sudah tak kuat menahan ritme yang begitu kuat.

"Gue suka sama cewek, yang tiap harinya selalu ada dibalik pohon"





                                          -Tbc-

Jeng jeng jeng...😁

Vote & coment jangan lupa teman-teman 💜

Senja (√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang