S'8

43 11 21
                                    


Kamu itu candu. Membuatku ingin selalu melihatmu. Walaupun aku tau, itu tak baik untuk kesehatan jantungku.

***

Bugh

Sebuah pukulan dari kayu mendarat tepat dipunggung, membuat orang yang dipukul terhuyung kedepan. Hal itu mengundang amarah dari dua orang lain yang segera memukul balik sang pelaku.

Dua lawan satu. Dilihat dari segi jumlah saja, Ravindra sudah kalah. Belum lagi, orang yang dipukulnya tadi kembali bangkit membuat ia terkepung. Namun, hal itu tak membuat nyalinya ciut. Ia akan berjuang sekuat tenaganya untuk menyingkirkan para pengganggu ini dari hadapannya. Lebih tepatnya, menyingkir dari kehidupannya.

Bugh

Satu bogem mentah mendarat tepat diperutnya. Membuat Ravindra memuntahkan darah.

Bugh

Ia tidak diberi kesempatan. Dari arah belakang, punggungnya dihadiahi pukulan tongkat baseball.

Apalah daya Ravindra. Belum ada satu pun diatara ke tiga preman ini yang terluka, dirinya sudah dibuat babak belur dan kehabisan tenaga.

Di depan, di warung kecil mereka, sang bunda hanya bisa menangis dan merapalkan doa untuk keselamatan anaknya.

Darah segar sudah mengucur bak keringat di wajah Ravindra. Seragam sekolahnya pun kini sudah penuh dengan cairan merah kental berbau menyengat itu.

Ketiga preman itu tak henti-hentinya meninju bahkan menginjak jari-jari tangan ketika Ravindra tergolek di tanah.

Mereka semakin membabi buta. Salah satu dari mereka mengeluarkan pisau yang diarahkan ke pipi Ravindra. Tetes demi tetes darah mengalir dari luka sepanjang 5 cm menutupi kulit putihnya.

Tubuh Ravindra telah tergolek lemas ditanah. Matanya terpejam menahan rasa sakit itu.

Tapi sepertinya, doa sang bunda didengar oleh sang Maha Kuasa. Dengan sisa kesadaran yang dipunya, Ravindra menolehkan kepalanya ke samping. Ia melihat seorang cewek sedang berurusan dengan para preman itu.

Namun, semakin lama pandangannya kian mengabur diikuti dengan kepalanya yang terasa semakin sakit akibat luka-luka yang diterimanya.

Dia manangkap bayangan beberapa orang menghampirinya sebelum akhirnya semua berubah menjadi gelap.

***

Bau obat-obat segera menusuk hidung saat Ravindra membuka matanya. Ia mengernyit bingung sesaat sebelum akhirnya mengerang pelan merasakan ngilu tiba-tiba menyerang wajahnya. Ravindra berusaha memposisikan tubuh agar bisa duduk tersandar di kepala ranjang.

Meskipun sempat kesulitan untuk bangun lantaran kepalanya masih terasa pusing, namun akhirnya ia berhasil menyandarkan punggungnya dalam posisi duduk.

Masih sambil meringis pelan, ia menatap ruangan serba putih dengan alat medis di sebelahnya.

Matanya beralih cepat lantaran tersadar tangannya terasa hangat. Seorang cewek berseragam sekolah terlelap tidur sambil menggenggam tangannya. Rambut panjang cewek itu menutupi wajah membuat Ravindra tak bisa melihat siapa cewek itu.

Sejurus kemudian, pintu kamar terbuka menampakkan wajah lelah sang bunda.

"Sudah bangun, nak?" tanyanya dengan suara lemah.

Wanita paruh baya dengan pakaian kumal masuk, meletakkan bungkusan nasi yang tadi dibelinya di nakas sebelah ranjang.

Setelahnya, ia berbalik. Mengelus rambut Ravindra dengan penuh kasih sayang. Matanya mulai mengalirkan butir-butir air sebening kristal.

STRUGGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang