S'9

33 9 21
                                    


Kamu,
sebuah lampu dalam genangan
pucat pasi mimpi-mimpiku.

***

Keadaan di dalam kamar rumah sakit menjadi hening setelah Alex keluar meninggalkan Ila dan Revindra berdua di sana.

Ila meletakkan barang bawaannya, membuka kresek berisi buah-buahan dan beberapa makanan.

"Mau makan kue?" tawar Ila memecah keheningan.

Sejujurnya, Ravindra tau Ila mencoba akrab dengannya. Mencoba membunuh kecanggungan diantara mereka.

"Boleh," Ravindra menjawab singkat.

Ila kemudian mengangguk. Mengambil sepotong kue lalu melangkah menuju ranjang. Duduk di samping Ravindra dengan jarak yang cukup jauh.

"Bisa makan sendiri?"

Hampir Ravindra tercengang mendengar penuturan Ila.
Pertanyaan macam apa itu?

"Mau Ila suapin?" tanya Ila karena tak kunjung mendapat respon dari Ravindra.

"Eh?" Ravindra langsung menggeleng. "Nggak usah, gue bisa sendiri". Ravindra menarik kue ditangan Ila dan langsung memakannya dengan sedikit kesusahan karena tangan kirinya diperban akibat diinjak preman kemarin. Hal itu membuat Ravindra makan dengan berantakan.

Dalam hati, Ila terkekeh. Krim kue di sudut bibir Ravindra membuat tangannya refleks mengambil tisu.

Dicondongkannya tubuh kearah Ravindra. Pergerakan itu berhasil mengagetkan Ravindra hingga ia memundurkan tubuhnya, melepaskan piring yang dipegangnya lalu menyilangkan kedua tangan di depan dada.

Nafasnya berderu kencang, "Mau ngapain lo?"

Ila tersenyum seperti orang bego. "Kotor tau."

Ila mengelap santai sisa krim yang menempel. Cukup lama, tangannya masih setia bertengger di bibir Ravindra.

Jarak yang hanya 10cm tak sengaja membuat mata mereka bertemu. Seperti magnet, netra hitam pekat Ravindra mampu menenggelamkan Ila.

Mata mereka terkunci, saling menelisik satu sama lain seolah mencari kehangatan di dalamnya.

Suara detak jam dinding beradu bersama detak jantung kedua insan yang sedang bertatapan ini. Semakin dalam, mereka seolah tarjatuh pada kejernihan mata masing-masing.

Ila segera menyadarkan dirinya. Ia tak boleh berlama-lama menatap mata itu. Takut zina mata. Dosa.

Ia segera mengalihkan pandangannya. Tersenyum manis lalu beranjak menuju sofa di dekat jendela.

Diraihnya gitar akustik berwarna blackdoff dengan list putih serta bercak merah didekat senar menambah kesan mewah serta elegan gitar itu.

Terpaan sinar mentari berpadu dengan angin sepoi yang menerbangkan helaian rambut Ila membuat Ravindra tak bisa berdusta.

Matanya yang semula diarahkan pada buku ditangannya guna menghilangkan rasa canggung akibat kejadian tadi, kini berkhianat. Tak bisa dipungkiri, pemandangan seorang gadis di depan jendela itu lebih menarik. Posisi yang sangat pas untuk membuat jantungnya kembali berdetak tak karuan.

STRUGGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang