Visualisasi Tokoh: Maulana Hakim Badillah

156 13 4
                                    

Alisnya tebal, senyumnya lucu, suaranya serak, bicaranya menunjukkan bahwa Ia sangat berwawasan, namun cara jalannya seperti Shinchan, gaya busanannya terlampau santai dan amat kekinian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alisnya tebal, senyumnya lucu, suaranya serak, bicaranya menunjukkan bahwa Ia sangat berwawasan, namun cara jalannya seperti Shinchan, gaya busanannya terlampau santai dan amat kekinian.

Pribadinya yang sangat ramah, dan candaannya yang sederhana membuatku semakin bertanya-tanya. Benarkah dia seseorang yang akan dinobatkan menjadi hakim terbaik di usia muda?

Aku masih sangat meragukannya.

Pertemuan 1: University of Wollongong, Australia.

Pagi ini aku sedang menghadiri acara farewell party salah seorang teman baikku ketika kuliah S1. Dia adalah Devina, seorang dosen muda yang kini telah berhasil menyelesaikan studi S2-nya di Unibersity of Wollongong, Australia. Aku datang ke acara kelulusannya menggenakan baju berwarna merah muda dan jilbab polkadot. Tak lupa aku datang membawa buket bunga dan beberapa buku bacaan sebagai kado atas kelulusannya.

Cuacanya pagi ini sangat cerah sejalan dengan suasana hatiku yang ceria. Di depan kampus tampak banyak wisudawan dan wisudawati dari berbagai negara. Di sana ramai sekali para orang tua, dan mahasiswa yang sedang berfoto bersama dengan ekspresi wajah yang bahagia.

Aku bertemu dengan Devina di halaman depan University of Wollongong. Devina terlihat sangat anggun dengan make-up flawles dan toga khas kampusnya yang berwarna biru muda. Devina terlihat sangat bergembira, mengingat setelah ini tidak akan ada lagi tugas-tugas yang melanda.

"Shariii! akhirnya aku lulus jugak. Bahagia banget dong. Lega! pokonya lega! abis ini balik ke Indonesia ketemu lagi sama mahasiswa-mahasiswaku. Makasih yaaa udah nyempetin dateng." Tanpa memperhatikan sekitar, Devina memelukku dan mengatakannya dengan lantang.

Bukan selamat namun aku mengatakan, "Well done Dev! You deserve it!" sambil menepuk punggungnya. Dia layak mendapatkan predikat cumlaude. Hal itu tidak lain berkat usaha dan kerja kerasnya dibalik meja belajar.

Tak lama kemudian, Devina melepaskan pelukannya dan menyapa orang lain.

"Dilla. Beneran dateng ya? Lord! makasih banget loh ustaz gaul udah mau dateng. Aku tau banget sibukknya kamu kayak gimana. Thank you so much!" sapa Devina kepada seorang laki-laki yang penampilannya saat itu terlihat sangat santai. Ketika Devina menyebutkan namanya, aku mengira bahwa Dilla itu adalah seorang perempuan. Nyatanya, dia adalah seorang laki-laki. Tidak terlalu tinggi, tidak terlalu pendek, tidak terlalu gemuk, dan tidak terlalu kurus. Jika umumnya orang yang berada di acara itu datang mengenakan kemeja atau tuksedo. Dia justru sebaliknya. Bukan kemeja yang Ia gunakan melaikan kaos oblong supreme, celana jeans sobek-sobek, topi warna putih, jam tangan merk Aigner, kacamata ala-ala Harry Potter, jaket denim, dan sneaker warna putih merk Nike. Dari atas hingga bawah seluruh barangnya tampak branded.

Aku berada di halaman kampus Devina bersama dengan teman-temannya yang lain. Ada juga teman-teman Perhimpunan Pelajar Indonesia yang turut datang untuk sekedar berkumpul dan berfoto bersama.

Hari ini acara farewell party akan dilanjutkan dengan acara makan-makan dan karaoke bersama di sebuah resto. Jujur saja, aku sangat tidak menyukai kegiatan semacam itu, ketimbang ikut dan menampakkan wajah tidak nyaman. Bukankah sebaiknya aku kembali ke zona nyaman?

Aku kembali pulang ke Asramaku yang berada tidak jauh dari kampus Devina. Sambil berjalan menuju asrama, aku mendengarkan murottal. Aku tidak tahu siapa orang di balik suara murottal itu. Apakah itu suara orang Indonesia, orang Arab, orang dubai, atau orang mana pun. Aku tidak teralu ingin tahu, yang jelas suara murottal itu telah banyak menemani perjalananku. Seseorang yang sedang jogging di siang bolong tiba-tiba menabrakku. Headset yang tadinya terpasang di kedua telingaku menjadi terlepas. Suara murottal yang tadinya aku dengarkan sendiri, kini terdengar sangat keras. Segera aku mengambil mp3 yang terjatuh dan mematikannya.

"Assalaamu 'alaikum Ukhti?" sapa seseorang yang sedang mengendarai supercar berwarna putih.

"Waalaikumussalaam," jawabku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Waalaikumussalaam," jawabku. Aku baru melihatnya hari ini, namun kenapa dia tampak sok kenal sekali. Ukhtiw-ukhtiw -_- Hhhhhh.

"Mau pulang bareng dengan Saya?" tanya seseorang yang pagi ini dipanggil Devina dengan sebutan nama Dilla.

Sambil menggulung headset aku menghargai tawaran darinya, "Ehmmm ... tidak terimakasih. Asrama saya ada didekat sini aja kok. Kamu duluan saja."

"Yakin ga mau bareng Saya?" tanyanya kembali dengan senyum lebar diwajahnya. Huh! menyebalkan sekali. Gayanya tampak seperti playboy cap kapal tenggelam.

"Ada yang salahkah dengan pendengaran kamu? Iya. Ndak, Shari mau jalan kaki saja. Terimakasih yaa tawarannya. Assalaamu 'alaikum." Aku menjawabnya dan lekas berjalan kembali.

Tidak lama kemudian laki-laki itu berjalan menyusulku. Aku tidak tahu apa motif yang ada di kepalanya. Mengapa lantas Ia turun dari mobil dan menyusulku berjalan kaki.

Dipersimpangan yang tidak terlalu ramai dan tidak terlalu sepi. Ia menghentikan langkahku.

"Ehh nama kamu Shari ya?" tanya seseorang sambil berlari kearahku. Mau ngegombal apa lagi nih bocah, pikirku dalam kalbu.

"Iya benar Saya Shari. Kenapa?" tanyaku heran. Aku heran mengapa dia baru saja lari meninggalkan mobilnya dipinggir jalan. Dia semacam hidup tanpa rasa kekhawatiran. Tidakkah dia tahu bahwa parkir di area sembarangan akan mendapatkan denda yang lumayan besar? Ini Australia, bukan Jakarta, Bandung, atau Surabaya.

"Bener kalo gitu. Saya Dilla, dan ini," sambil menyodorkan buku catatanku, "kayaknya tadi jatoh di deket sana," terangnya sambil mengembalikan buku catatanku yang berwarna pink muda.

"Allahuakbar! terimakasih banyak yaaaaa ... Dilla. This is a meant for me ," syukurku pada Allah dan kepada Dia yang telah berlari menyusulku untuk mengembalikan buku catatan kesayanganku.

"Eheee. Santai aja kali ... tadi Saya mau balik, tapi kok Saya lihat ada buku warnanya mencolok, dan warnanya hampir sama dengan baju yang kamu pake. Insting saya mengatakan bahwa itu milik kamu," jawabnya cerewet.

Aku lantas melihat ada beberapa petugas polisi lalu lintas yang menuju kearah mobilnya.

"Is that your Car, right?" tanyaku yang mulai mengkhawatirkan perilaku laki-laki ini.

"Yaaah biarin dia mager di situ," ucapnya sangat amat santai.

"Police at there. Lihat deh!" Aku memberikan isyarat dengan padanganku bahwa mobilnya sedang dikerumuni beberapa petugas kepolisian.

"Ooohh damn it!" seketika itu berlari meninggalkan aku menuju mobil tempatnya parkir.

Entahlah apa yang membuat aku tertawa kecil. Perilakunya beberapa saat yang lalu masih sangat santai, namun baru saja dia terlihat sangat cemas. Seperti orang kebingungan besok mau makan apa, dengan uang apa.

Sejujurnya aku merasa tidak enak jika meninggalkannya begitu saja, ada semacam perasaan bersalah. Kemudian aku berpikir kembali, bodoh amat ah tapi! salah siapa ceroboh meninggalkan kendaraan di tepi jalan begitu?

Aku kemudian melanjutkan langkahku untuk kembali pulang.

***

Syawal AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang