Visualisasi Tokoh: Abshari Fiana Zerlina

141 13 2
                                    

Pertemuan 2: Village Cinemas di 194-200 Ryrie St, Geelong, Victoria, Australia

Invidiualis, perfeksionis, terlalu konkret, dingin, dan murah senyum (tapi hanya ke beberapa orang tertentu yang memang sudah kukenal lama). Begitulah kiranya orang-orang mendeksripsikan kecenderungan kepribadianku saat pertama kali bertemu.

Awal tahun 2018 Allah memberikan aku kesempatan emas ini, aku memperoleh beasiswa dari Australian Government untuk belajar roda bisnis salah satu perusahaan di Northfields selama satu tahun. Cadar tidak membatasi ruang gerakku untuk berkeliling dunia. Begitulah aku memaknai bagaimana perjuanganku hingga tiba di negeri Kanguru ini.

Tugas membuat laporan audit dan beberapa penelitian keuangan yang harus segera aku selesaikan membuatku cukup penat. Rasanya, aku ingin berhenti sejenak untuk me-refresh otak.

Malam itu aku pergi sendiri ke bioskop. Sebelumnya, teman sekamarku ingin ikut juga, tapi aku menolaknya. Saat itu aku benar-benar ingin pergi sendiri. Sendiri untuk menyepi.

Aku mengenakan baju yang sama persis dengan busana yang aku kenakan ketika Devinas's farewell party.

Yuhu! $10

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yuhu! $10.50 for ticket, popcorn and I can get all three at the concession stand instead of waiting in the ticket line. My unallocated seat ... I'm coming.

Village cinemas sedikit berbeda dengan konsep bioskop di Indonesia. Konsep bioskop Village cinemas memang unallocated seating. Siapa pun bisa duduk di mana pun, tergantung siapa yang cepat dia yang dapat. Untungnya saat itu aku memang sengaja datang lebih awal. Jadi, aku bisa lebih leluasa memilih tempat duduk sesuai dengan keinginan dan kenyamananku.

Aku merupakan salah seorang yang sangat selektif ketika melakukan sesuatu hal. Apa yang aku keluarkan minimal harus sebanding dengan apa yang aku dapatkan (kecuali sedekah). Prinsip hidup seimbang benar-benar aku terapkan dalam hidupku. Ibadah, hobi, pekerjaan, bersenang-senang, harus benar-benar seimbang. Keseimbangan ini yang kemudian membuatku lebih sehat dan lebih bahagia menjalani kehidupan di dunia yang fana ini.

Aku duduk di barisan tengah antara layar bioskop dan kursi penonton. Banyak orang yang datang berdua dengan pasangannya. Eiittsss jangan salah, di sini juga tidak sedikit yang datang sendiri. Dont be sad babe! alone doesn't mean lonelly :)

I really enjoy this film. Aku duduk, dan benar-benar menikmati film dengan baik. Aku memang sangat menyukai film-film yang diproduksi oleh DC comics. Kali ini aku memilih untuk menonton film yang berjudul Aquaman movie. Dalam film itu dikisahkan ada dua kehidupan yang harus disatukan. Hanya ada satu orang yang dapat melakukannya. Pilihan yang sebenarnya sangat mudah untuk ditebak. Namun, tidak ada yang bisa menebak bagaimana akhirnya seorang Arthur Curry (tokoh utama pria) menceritakan bagaimana ia akhirnya menjadi seorang Raja Atlantis.

Ketika menonton film bioskop, aku tidak hanya sekedar duduk dan menonton saja. Kebiasaan menganalisis sangat melekat dalam diriku. Aku membawa buku catatan, dan mencatat alur yang menurutku sangat unik. James Wan adalah penulis di balik film layar lebar ini. James Wan yang terbiasa membuat film horor dengan adegan jumpascare, berani menyiapkan sebuah gagasan baru dalam sebuah film superhero.  Alur cerita film Aquaman dibuat dengan santai. Semua urutannya terpampang rapi. Sesekali alur cerita dibuat maju-mundur dipadukan dengan aksi baku hantam, drama, komedi satir hingga fantasi yang menurutku cukup indah.

"Kembali ke dasar lautan yang merupakan bagian dari 'darahnya'  atau membiarkan dirinya bertarung sendirian melawan kekuatan besar dari laut yang paling dalam?" beginilah catatan yang aku tulis ketika duduk dan menonton film itu. Pertanyaan-pertanyaan yang berbau hipotesis, untungnya semuanya terjawab ketika pemutaran film selama dua jam itu berakhir.

***

Lampu bioskop mulai menyala kembali.

Plukkk!

Seseorang melemparkan biji popcorn kearah hijabku. Aku sontak menoleh ke barisan kursi yang ada di belakangku. 

Siapa yang melakukan tindakan tidak sopan begini?

"Hai Ukhtiw, sendirian aja ni?" Laki-laki ini seperti jin tomang yang keberadaannya sangat tidak aku duga. Bisa-bisanya kami berada di ruang yang sama, dan menikmati film yang sama pula.

"Maksud kamu apa sih?" Aku meliriknya dengan tatapan menusuk, "Ngapain sih ngelemparin saya popcorn begini? dasar nggak sopan!" omelku dengan nada bicara yang sedikit kesal.

"Tenang donggg tenang ... Marah itu hanya untuk orang-orang yang tidak bisa mengendalikan diri," jawabnya dengan tertawa lebar. Ia  mengangkat alisnya, pupil matanya tiba-tiba membesar.

Huh! menyebalkan maksimal.

Aku tidak ingin menanggapi manusia freak barusan, "Hhhhhsshh!" ucapku ketus sambil berjalan meninggalkan kursi bioskop. Aku berjalan keluar ruangan bisokop. Suasana hatiku mendadak menjadi buruk setelah aku bertemu dengan Dilla. 

Sembarangan banget tuh orang ngelempar-ngelempar popcorn. Untung saja aku tidak mengenalnya, kalau aku kenal baik mungkin sudah aku timpuk balik dengan tas milikku.

Aku baru saja berjalan menuju lobby, tiba-tiba seseorang berteriak memanggilku. "Heyyyy! kamu tuh selalu ya ...," Aku menoleh kebelakang, kulihat Dilla berlarian kecil mendekatiku.

"Apa?? Mau apa lagi, sih?" tanyaku kesal.

"Ini bulpen siapa? nih," sambil menyodorkan pena kesayanganku, "Ana cuman mau balikin pena milik antum ... hiiiishh muslimah kok gitu! Bhaaayyy!" Dilla memalas ucapanku dengan ketus.

Mendengar jawabannya yang ketus dengan raut wajah yang sedikit serius membuatku tak enak hati. Ini sudah kedua kalinya dia mengembalikan barang kesayanganku.

Aku tidak naif, meninggalkan barang kecil di tempat-tempat sembarangan memang menjadi sebuah kecerobohanku. Aku lantas mengikuti arah kemana ia berjalan. Sampai dengan parkiran, aku tidak tahu mengapa aku terus membututinya seperti ini.

"Lah? Ngapain? Mau pulang bareng Saya?" Dia tampak baru saja menyadari keberadaanku yang sedari tadi membututinya. 

Dilla meminum milk shake red velvet yang dia pegang begitu saja. "Hey! kalo minum tuh duduklah ya ...," tegurku sopan. Tanpa berpikir, dia melakukan tindakan yang sama sekali tidak aku duga.

Jongkok! dia benar-benar jongkok, kemudian duduk di ubin parkiran mobil. "What are you doing?" tanyaku sambil tersenyum kecil.

"Sitting. You said that I should be sit. Yaudah, ini udah duduk, kan? Masih salah jugakah saya? Salahnya di mana?" tanya Dilla yang saat itu dengan polosya duduk tanpa memikirkan kebersihan ubin parkiran. Aku terkejut melihat perilakunya yang spontan begitu.

Dia meminumnya tanpa jeda. "Mau bareng Saya apa gimana?" tanya Dilla yang baru saja membuang gelas minuman kedalam tong sampah yang kebetulan ada di dekat mobilnya.

"Nggak ... Saya cuman mau bilang maaf dan makasih," terangku sambil memegang pena yang tadi sempat tertinggal didalam kursi bioskop.

"Oke! Nope. I Gotta go, see you again ukhtiw. Assalaamu'alaikum," pamitnya langsung menyalakan mesin mobil dan pergi begitu saja dari pelupuk mataku.

"Waalaikumusalaam," jawabku singkat.

Kenapa hatiku merasa aneh ketika melihat dia benar-benar meninggalkanku di parkiran ini? Kenapa ada perasaan sedikit kecewa melihat responnya yang sedikit berbeda? Ada apa dengan tatapan matanya yang dingin dan serius itu?

Aku lantas keluar dan berjalan menuju halte bis. Malam itu tampak sepi. Aku tidak mendapati keramaian kendaraan yang melintas di sepanjang jalan. Sepi dan tenang, begitulah aku menggambarkan suasana malam itu.

Sepanjang jalan menuju halte, aku sedikit memikirkan kecerobohanku. 

Tahun ini aku genap berusia 22 tahun, mengapa aku masih saja teledor dan meninggalkan barang-barangku? mengapa aku tidak bisa menahan orang asing berkomunikasi denganku tanpa persetujuannku? Bagaimana caranya agar aku lebih bisa berhati-hati menjaga barang bawaanku? 

Pertanyaan-pertanyaan remeh seperti itu yang kini sedang aku pikirkan.

***

Syawal AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang