03

19 1 1
                                    

Yuri terbangun, kamarnya tidak lagi gelap.
Lampu dinyalakan dan posisinya sudah diatas ranjang dengan tubuh ibunya di sisi ranjang, duduk telungkup tangan.
Ia tertidur.
" Mama ... " Rio memanggil ibunya dengan suara bergetar.
" Mama ... " Kali ini dia menggoyangkan tangan mamanya dan itu berhasil.
" Hmmm ?! ... Ada apa sayang? Kamu mau minum ? "
Ibunya belum sepenuhnya sadar.
Yuri tidak menjawab, dia langsung memeluk ibunya dan menangis sesenggukan dalam peluk ibunya bahkan dia masa bodoh kalau ingus menempel di baju ibunya.
Malam ini ia ingin menangis sepuasnya.

Armand mengusap rambutnya berulang kali dengan kasar, pikirannya yang sudah bercabang menjadi semrawut saat mengetahui keadaan mental putera semata wayangnya.
Apakah benar kejadian masa lalu, saat puteranya sangat masih kecil begitu membekas padanya.
Ia berjalan gontai ke kamar Yuri, sekedar untuk membangunkan isterinya yang pasti tertidur.
Jam sudah sangat larut, ia membuka pintu dan pemandangan didepan mata membuatnya membeku

Yuri menangis sudah hampir satu jam, setiap kali ibu atau ayahnya hendak melepaskan pelukan itu, Yuri semakin erat melingkarkan tangannya di pinggang ibunya.
" Kamu tidak apa-apa Tiara ? "
" Aku tidak apa-apa, Yuri yang kenapa-napa. "
Armand duduk dibelakang Yuri mengelus bahunya yang terlihat samar berguncang, sayup terdengar Isak yang menyedihkan.

" Jangan menangis, ceritakan sama papa dan mama kamu kenapa ? " Ia berusaha selembut mungkin bicara.
Yuri mengusak wajahnya di pelukan ibunya dan mengeratkan tangan, saking erat sampai tubuh Tiara terdorong kedepan.
" Bicara nak, kasihan mama mu kamu tarik begitu, kamu juga pasti lelah terus menangis. "
Yuri mengendurkan pelukan, malu-malu menampakan wajah, menoleh kepada papanya.
" Papa tidak akan marah atau memukul ku?! ... " Ia bicara ragu-ragu.

Wajah sembab, mata bengkak. Melihat itu membuat hati Armand mencelos seperti lepas dari raganya.
Tangan itu masih gemetaran saat membelai kepala putera semata wayang.
" Kapan papa marah atau memukul mu ? " Suaranya mendadak tercekat, ada batu besar yang mengganjal tenggorokannya dan jantungnya seperti di jebol paksa, terasa nyeri hampir mati.
" Tadi papa mendobrak pintu dan akan memukul ku kan ? " Ucapan Yuri membuat semua diam, itulah kenyataannya.

" Bagaimana kamu tahu, waktu itu bukankah kamu sudah tertidur? " Armand hanya ingin sebuah kenyataan, dan itu malah berbalas gelengan.
Tidak sesuai dengan harapan kedua orangtuanya.
" Lalu seperti apa sebenarnya, nak ? " Tiara menggenggam kedua tangan Yuri.
Yuri bergantian menatap kedua orangtuanya.

" Kepala ku waktu itu sakit, lalu mimisan lagi seperti disekolah. Aku hanya ingin tidur makanya aku ambil obat tidur yang aku beli diapotik bebas, aku masih punya resep obat dari kak Rosmala. " Ia bercerita sambil bergantian mengoper pandang. Sebentar ke papa dan sebentar ke mama.
" Lalu papa berteriak dan menendang pintu, aku takut makanya sembunyi di kolong meja, aku juga nyenggol wadah obat dan tumpah, mimisan ku nggak bisa berenti, aku sendiri terlanjur lemas mataku nggak mau di buka. "
" Kamu jangan lakukan itu lagi ya, kamu sangat membuat kami khawatir. " Tiara semakin erat menggenggam tangan Yuri, matanya mengintimidasi, ini caranya tegas.

" Mama tidak membenci ku ? "
" Untuk apa ? "
" Setiap hari aku membuat mama menangis, aku selalu mengatai mama, aku anak nakal. "
Tiara beranjak, ia duduk tepat disamping Yuri dan mendekap anaknya dengan lembut.
Ia sudah pernah kehilangan dan ia tidak mau kehilangan lebih banyak lagi.
" Yuri minta maaf ma, jangan benci Yuri ... Yuri memang aneh, tapi jangan benci Yuri, Yuri sayang sama mama, Yuri sayang sama papa, jangan marah ma. " Yuri mulai meracau bahkan ia bicara seperti merapal mantra yang panjang.

Armand mulai khawatir, ia meminta Tiara melepas pelukannya, tetapi ketika Tiara akan memberikan kuasa penuh. Lagi-lagi Yuri meremas baju Tiara dengan kasar dan kuat.
Armand bisa mendengar napas mengi'
Ia paksa Yuri melepasnya, " Yuri, kamu dengar papa nak ? " Ia menepuk-nepuk pipi pucat Yuri.

Tiara sigap mengambil inhaler cadangan di laci nakas dekat ranjang Yuri.

______________________________________

Armand benar-benar kacau, belum menemukan solusi atas apa yang dikatakan dokter, ia harus menerima kenyataan lainnya kalau puteranya mengidap asma bawaan sejak ia lahir.
Penyakit yang menggantungkan hidup Yuri kecil dengan peralatan dokter penunjang hidup dan ia harus rela bergantung dengan obat-obatan bahkan sejak usianya belia.

Armand dan Tiara adalah orang tua yang cukup perhatian dan mendukung setiap kegiatan anaknya, mereka tidak mau jika putera mereka merasa terkucilkan karena keadaannya.
Apa pun yang menjadi minat putera mereka, maka mereka akan mendorongnya dengan semangat dan pujian agar anaknya tidak minder.

Termasuk mengoleksi berbagai buku, bermain basket, naik gunung saat perpisahan SMP.
Dan Yuri juga bukanlah anak manja yang harus bergantung kepada orangtuanya karena sakit, dia cukup mandiri bahkan telaten menangani penyakit bawaannya, sampai saat ini bahkan tidak ada teman atau para guru yang mengetahui penyakitnya, yah kecuali beberapa teman itu juga karena keadaan yang tidak mendukung.

Bahkan ia termasuk pandai menutupi kenakalannya, merokok, menginap bukan untuk mengerjakan tugas, tetapi bermain dengan teman, ke cafe, berkeliling Jakarta ketempat ' hitam ' mengenal dunia prostitusi.
Ia berteman dengan semua kalangan, sosialita hingga rakyat jelata, kaum ' putih ' maupun ' hitam ' bahkan ia pernah berteman dengan beberapa penyuka sesama jenis, dan tentu saja dengan ketampanannya ia menjadi primadona gay.

Asal tahu, meski ia pesakitan, tuhan menurunkan karunia terbaik untuk Yuri.
Wajah tampan, semua proposional. Tubuhnya pun tidak terlalu kurus atau terlalu gemuk, pas.
Berkat berteman dengan beberapa gay kemayu, ia diajarkan mengolah tubuh, sempat menjadi anak gym, tentu saja dibiayai kawannya karena waktu itu ia masih SMP dan dia anak yang cuek.
Istilah tidak diajak terserah, aku tidak rugi. Semacam itu.
Tubuhnya juga golongan yang mudah dibentuk dan dia bukan tipe cepat gendut hanya karena makan banyak atau makan sembarangan.

Melihat anaknya menikmati kehidupan dan mendapati perubahan baik tentu kedua orangtuanya ikut senang, meski mereka tidak tahu apa yang dilakukan Yuri diluar sana.

Yuri hanya akan menjadi sangat berbeda saat moodnya buruk, emosinya tidak terkontrol dan pelampiasan biasanya sang ibu yang selalu berada di rumah.
Teriakan, umpatan dan beberapa kali pukulan pernah mendarat kepada sang ibu.
Saat moodnya membaik, Yuri akan menangis sesenggukan, memeluk dan menciumi ibunya bahkan pernah sekali ia mencium kaki ibunya sambil mengemis maaf.

Yuri bukanlah anak nakal, ia terlalu baik untuk disebut begundal.
Tetapi dia juga tidak menjadi anak yang bersih, seperti dua sisi mata uang yang saling berkaitan.
Yuri adalah bagiannya, dan ia sangat rapi menyimpannya.

______________________________________

" Maafkan papa nak. " Armand hampir menangis mengatakannya.
Yuri menatapnya dengan sisa kornea, matanya merapat akibat ia menangis seharian.
Gelengan lemah menjawab ucapan Armand, tangan Yuri yang digenggam Armand berkedut.
" Yuri bahagia punya papa. " Ucapnya lirih.
Armand menangis, " bilang sama papa apa yang kamu rasakan, beban apa yang kamu tanggung sayang ? " Tangan kiri Armand membelai rambut Yuri yang terbaring.
Yuri menggeleng lemah, " bicara nak, papa harus membawa mu ke psikiater jika kamu menyembunyikannya sendirian. " Armand serius bahkan tangannya semakin erat memegang tangan Yuri.
Yuri tersenyum tipis dan tertidur kemudian.

______________________________________

ZoomerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang