Begini, Tuhan
Melalui beberapa buku yang sudah tuntas kubaca, Engkau mustahil membiarkan makhluk-Mu, termasuk aku, berada di dalam arena yang membuat hati kami terus menerus merasa letih tanpa meninggalkan kesan cantik di akhir. Seringkali dengan arogannya, setelah kesulitan-kesulitan menggerogoti kekuatanku, celakanya aku malah enggan kembali meminta petunjuk. Disitulah letak kesalahannya. Padahal kunci dari kekuatan adalah dengan kembali. Kembali kepada-Mu, memohon petunjuk dan kemurahan-Mu.
Memang ada saat-saat ketika aku merasa begitu ingin menyudahi rasa letih. Siapa yang tidak kenal rasa letih? Semua orang kenal, dan pasti juga pernah menjajal perasaan semacam itu. Tapi hebatnya adalah, bermula dari situ, hati bisa memerankan tokoh sebagai pemilih. Memilih untuk menciptakan garis finish yang sebetulnya tidak ada, atau memilih untuk menjalin camaraderie dengan segala kerumitan hidup. Bukankah segala kerumitan jika ingin dipermudah hanya butuh disederhanakan saja?
Dan penyederhanaan dari rumitnya hidup adalah melalui sebuah penerimaan, perbuatan menerima. Atau bisa juga disebut dengan menyambut. Artinya menyambut segala yang sudah dijatahkan. Manis maupun pahit, hitam maupun putih, segala-galanya, tanpa kecuali. Seandainya sesederhana menerima atau menyambut saja masih terbilang rumit, fakta pertama adalah, kurangnya jam terbang. Dan fakta kedua yaitu, ternyata, aku masih kurang jam terbang.
Jadi, singkatnya begini, Tuhan Ada maaf yang ingin kusampaikan dengan segera. Tentu saja soal penolakan atas segala pemberian-Mu. Juga soal wajah masam dan keterpaksaan hati ketika menyambut semua itu.
Dengan penyesalan yang penuh, sungguh, aku mohon maaf.