PART 1

9.4K 253 2
                                    

Menjelang mentari menyingsing di ufuk timur, memancarkan aroma khas embun pagi dan basah dedaunan menari indah diterpa hembusan pelan angin semilir.

Membuka tirai satu per satu lalu membuka jendelanya. Menghirup dalam udara pagi di area pegunungan ini.

Menikmati pagi kesekian kalinya dengan menyandang status ku sebagai seorang janda. Janda muda tepatnya. Hidup sendiri dirumah peninggalan mendiang Bang Miftah yang lumayan membuatku sepi akan kesendirian, tanah gundukan makamnya pun masih terlihat basah.

Aku menjalani masa iddah yang membuatku terpukul saat menyadari bahwa aku sudah tak lagi berteman ditempat tidur. Tak ada lagi canda tawa disetiap pagi saatku buatkan ia kopi dengan sedikit gula, menghidangkan sarapan nasi goreng udang kesukaannya, memasak makan siang hingga setia menunggunya pulang bekerja.

Bang Miftah, lelaki kesayanganku, penjaga dan segalanya di hidup ini, telah pergi selamanya tanpa pamit. Pagi itu, pukul delapan, Bang Miftah memelukku mesra setelah tadi malam kami bergulat diranjang dengan hangat, mengecup keningku dan memberikan senyum terbaiknya.

'Tunggu aku kembali, Sayang'. Ucapnya. Ku balas dengan senyuman hangat.

Setahun pernikahan, kami belum juga dikaruniai buah hati, mungkin karena keadaan ekonomi kami yang belum terlalu mencukupi. Pekerjaan Bang Miftah yang hanya sebagai kuli bangunan, tidaklah cukup untuk membuatkanku istana yang besar.
Tanah petak warisan dari mertua, kami gunakan untuk mendirikan rumah kayu sederhana, hanya ada satu kamar tidur, dapur dan kamar mandi. Tapi aku mensyukuri semua ini.

Membeli sayur ke warung sebelah rumah, meraciknya hingga menghidangkannya adalah kegiatanku sehari-hari, tak banyak uang mingguan yang diberikan Bang Miftah padaku.

"Sudah isi belum, Mbak?" Celetuk Marni, tetanggaku.

"Belum, Mbak. Masih disuruh sabar," bagiku kehamilan bukanlah suatu kompetisi yang siapa cepat dia dapat. Kehamilan adalah urusan Tuhan, hanya Dia yang tahu segalanya.

"Masa sudah setahun nikah belum 'goal' juga?" Sambungnya lagi. Aku meneruskan memilah sayuran yang ingin di masak.

Aku hanya bisa tersenyum. Ingin rasanya tidak berbelanja disini, tapi hanya warung ini yang paling lengkap dan terdekat dengan rumahku. Maklum, motor kami hanya satu, itupun dipakai Bang Miftah bekerja. Harus bisa ku hadapi kicauan kecil dari para tetangga yang terus menanyakan kabar kehamilanku.
Mereka bahkan menyarankan untuk makan ini itu agar rahimku subur, padahal Bang Miftah pun tidak pernah mengungkit tentang kehamilan.

Tetanggaku sepertinya tidak kehabisan akal untuk merayu agar memakai cara yang mereka sarankan, tidak hanya denganku, Bang Miftah pun tak luput dari sasaran rayuan ibu-ibu agar mau mengkonsumsi ini itu. Terlebih, kedua orang tua Bang Miftah sudah meninggal, mungkin mereka berperan layaknya orang tua yang sedang memberitahu anak bayinya.

Aku melanjutkan pekerjaan rumah, mencuci dan memotong sayuran, berharap siang ini Bang Miftah pulang untuk makan siang.

Ddrrrrtttt ....

Ponselku bergetar.

"Assalamualaikum,"
"Waalaikumussalam, Bang," karena ku tahu yang menelepon adalah kontak dari Bang Miftah.

"Maaf, Mbak. Ini saya Tikno, Mas Miftahnya jatuh dari atap rumah, Mbak."

Deg!

Bagai tersambar petir rasanya.

"Apa? Sekarang dimana?" Kataku panik.
"Sekarang kami mengantarnya ke rumah sakit, Mbak."

Aku langsung menutup teleponnya, meninggalkan sayuran yang siap ku masak begitu saja.

Aku menuju rumah Mbak Warni tetangga sebelahku.

"Mbak, Mbak, tolong!" Rasa hatiku sudah tidak karuan.
"Ada apa, Mbak?" Mbak Warni muncul dari dalam rumahnya.
"Terke aku nang omah sakit (antarkan aku ke rumah sakit)!"
"Sopo sing loro (siapa yang sakit)?" Katanya
"Bang Miftah, Mbak. Tibo seko atap (jatuh dari atap)."

Mbak Warni bergegas menurunkan motor dari atas teras rumahnya.
Aku memakai helm dengan rasa yang berkecamuk.

"Cepet, Mbak!"  Aku menepuk pundaknya.

Tak terasa air mata ku berlinang sendirinya, mengkhawatirkan keadaan Bang Miftah.

Setiba di rumah sakit, aku langsung menuju ruang IGD. Ku lihat Mas Tikno dan beberapa rekan kerja Bang Miftah. Aku turun dari atas motor Mbak Warni.

"Mbak, Mbak!" Kata Mas Tikno.
"Bang Miftah mana, Mas?" Tanyaku sambil menangis.
"Sepurone, Mbak. (Maaf, Mbak) Mas Miftah ...."
"Bang Miftah kenopo, Mas?" Semakin hancur rasanya hati ini.

"Mas Miftah, sudah meninggal, Mbak." Kata Mas Tikno pelan.
"Opo!"

Pandanganku mendadak gelap. Aku limbung lalu pingsan.

****

Tak pernah ku sadari, Bang Miftah meninggalkanku begitu cepat. Dia mengalami trauma dibagian kepala, hingga mengeluarkan darah segar akibat terjatuh dari atap rumah yang ia buat bersama rekan-rekannya.

Aku masih ingat betul rasa bibir Bang Miftah saat mengecupku untuk yang terakhir kalinya.

Ku buka kain jarik penutup tubuh jenazah Bang Miftah, meratapi dan menangis di sampingnya.
Bau kapur barus membuat aroma parfum yang biasa dia pakai menjadi hilang.

Keluarga besar pun tak kalah dirundung duka. Setahun pernikahan adalah usia yang amat teramat singkat untuk menikmati indahnya bahtera rumah tangga.

Sampai suatu ketika ....

Bersambung.

SANTET !!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang