PART 11 END

5.3K 204 18
                                    

Diseret dan rambutku dijambak sakit sekali. Perih. Aku berusaha meronta melepaskan genggaman kedua mahluk besar itu, tapi apa daya, badanku kalah besar dari mereka.

Aku lelah, mereka membawaku kesebuah ruangan yang gelap sekali. Tak ada celah cahaya yang masuk. Pengap sekali. Aku hanya bisa mendengar dengusan nafas dari kedua mahluk itu. Terdengar sangat marah. Aku didudukkan di lantai, dengan posisi bersimpuh. Tiba-tiba dihadapanku timbul sebuah cahaya yang menyilaukan, sangat terang sekali. Dari dalam cahaya itu, muncul wanita berbaju hijau yang tempo hari kutemui di tempat misterius ini. Dia membawa dua ekor ular yang melilit di lehernya. Ular itu saling menjulurkan lidahnya, sang wanita terlihat marah padaku.

"Kenapa kamu bersikeras?" Ucap wanita itu. Suaranya terdengar menggelegar.

Aku ingin menjawab namun tidak bisa. Mulutku terkunci rapat.

****

Hari berlalu, tak sabar rasanya ingin cepat-cepat menelepon Mas Aryo. Aku mau tahu, apakah Desi sudah mati, ataukah masih merintih kesakitan?
Mas Aryo bodoh! Jelas-jelas Desi sudah tidak bisa memberikannya kebahagiaan, masih saja ia pertahankan.

"Emak tidak lagi melihat Bude-mu kesini, Lis?" Tanya Emak saat ku bantu dirinya membungkusi kerupuk di dapur.
"Ah, Emak. Dia itu hantu. Memang tidak pantas dia ada disini bersama kita." Jawabku.
"Bukan seperti itu. Dulu, sebelum dia meninggal, dia pernah berpesan pada Emak, jangan sesekali mendatangi dukun atau melakukan guna-guna, nanti akan celaka!"

"Y-ya iyalah, Mak. Siapapun yang berhubungan dengan syaitan itu pastilah, celaka." Omonganku terbata-bata. Lagi pula, siapa yang percaya dengan 'senjata makan tuan'? Seperti yang kebanyakan orang lakukan, mereka sukses menjalani ritual santet, dan mendapatkan apa yang ia mau.

Aku meninggalkan Emak di dapur. Segera ku ambil ponsel dan menelepon Mas Aryo.
Lama sekali tidak ada jawaban sampai ku telepon berulang-ulang.

"Halo, Mas." Teleponnya terhubung.
"Ya, halo, Lis."
"Kamu lagi dimana? Malam ini kita jalan, yuk? Aku merindukanmu." Ucapku manja.
"Maaf, Lis. Kali ini aku sedang menemani Desi terapi berjalan. Alhamdulillah, dia sudah berjalan sedikit demi sedikit."
"Apa?" Mataku terbelalak. Darahku naik ke ubun-ubun. Langsung ku matikan sambungan teleponnya. Rupanya, manteraku tidak berhasil.

Ku lihat jam, masih pukul sembilan pagi. Aku memakai jaket, berganti pakaian dan bergegas menuju rumah Ki Handi. Apa-apaan ini? Kenapa santetnya tidak berhasil? Dia mempermainkanku!

Tanpa pamit pada Emak, aku melajukan motor dengan kecepatan penuh. Hatiku kalut dirundung emosi. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam untuk sampai di rumah Ki Handi. Setiba di rumahnya, aku langsung menggedor pintunya tanpa mengucapkan salam. Amarahku memuncak.

Dia membukakan pintu.
"Ada apa?" Jawabnya dengan suara parau.
"Aku ingin minta pertanggung jawaban, Ki!"
"Pertanggung jawaban apa? Mari duduk dulu." Ki Handi mempersilahkanku masuk dan duduk.
"Saya sudah melakukan ritualnya dua kali, tapi kenapa Desi malah bisa berjalan lagi, Ki?" Ujarku menggebu.

"Sudah Aki bilang. Desi adalah orang yang taat agama. Tidak mudah untukmu bisa mengirimkan guna-guna padanya." Jelas Ki Handi.

"Omong kosong! Semua harus bisa ditembus!"
Aku marah padanya, bagai orang yang kesurupan. Ku hambur cawan-cawan milik Ki Handi dan jatuh berserakan. Ku banting hiasan kepala hewan yang menempel di gubuknya.

"Apa-apaan kamu?"
"Lihat, Ki! Aku akan membuat Desi mati!" Ambisi kini menyelimuti diriku. Panas menyelimuti badanku.
"Kau akan membuat mereka marah!"
"Ah, persetan!"

Aku pergi dari rumah Ki Handi dengan emosi yang memuncak. Tiba di rumah, aku langsung memasuki kamar menggelar peralatan sajen untuk ritual kembali. Aku berusaha fokus dan tenang dalam membacakan mantera.

Kali ini, aku menusuk disemua bagian boneka itu. Aku berharap, Desi semakin merintih kesakitan dan akhirnya mati. Boneka itu terpental lagi. Aku bagai orang kesetanan. Ku ambil dan mengulangi lagi bacaan mantera.

Tapi tetap saja boneka itu kembali terpental. Aku mengamuk. Berteriak dan menghamburkan alat sajen itu.

Berteriak-teriak seperti bukan aku yang ada didalam tubuh ini. Emak menggedor pintu kamarku sambil berteriak juga. Pandanganku berubah gelap. Aku tersungkur ke lantai.

Kembali aku berada di singgasana itu. Kini tempat itu porak poranda, seperti ada yang menghancurnya. Kursi emasnya terjungkang, bunga-bunga disekelilingnya seperti habis terbakar.

Terdengar auman menggelegar. Seperti auman harimau yang sedang marah. Benar saja, tiba-tiba singgasana yang ku pijak itu runtuh. Aku masuk kedalamnya. Gelap sekali. Aku mencoba membuka mata namun tidak bisa. Berteriakpun tidak ada suara yang terdengar.

Aku mendengar seperti ada yang membacakan ayat-ayat, namun dimana? Siapa? Aku tidak bisa melihat apapun.

"Lis ... bangun, Lis!" Seperti suara Emak sedang menangis. Tapi dimana? Aku tidak bisa melihatnya.

"Lis ... sadar ... bangun."
Emak? Emak kah itu? Aku mencoba membuka mataku, tapi masih gelap. Mencoba membuka mulutku, namun tetap saja terkunci rapat. Yang bisa ku dengar adalah suara eranganku. Kaki dan tanganku tidak bisa ku gerakkan.
Ada apa ini?

"Rrhhhhh ... rrhhhh ...." Hanya itu yang bisa ku keluarkan dari mulutku yang terkunci.

Emak masih terdengar menangis. Dan tidak hanya Emak, nampaknya banyak sekali orang yang berada disini, sedang berkumpul. Tapi aku dimana? Tubuhku sangat kaku.

S E L E S A I.

Barakallahu fiikum. Semoga bisa mengambil ibroh dari kisah nyata ini. Dan jangan lupa selalu tinggalkan kritik dan sarannya, ya.

FYI Saya mendapatkan penuturan ini dari Emak Lilis. Lilis sudah bisa berbicara namun tidak terdengar jelas, seperti orang berbisik. Dia masih tidak bisa membuka matanya, badannya pun kaku seperti kayu. Buang hajatpun dilakukan Lilis diatas kasurnya. Emak dan Riani-lah yang mengurus Lilis saat itu.

Aryo pernah menengok Lilis dan Emak menyampaikan perbuatannya. Aryo terkejut. Dia bahkan tak habis pikir Lilis tega melakukan itu pada Desi. Kini, Desi telah tiada, karena penyakit rahimnya yang membuat tubuhnya lemas. Bukan karena santet. Aryo menuturkan bahwa Desi sangat gemar melakukan ibadah. Saat kakinya lumpuhpun, Desi masih sering melakukan salat. Itu yang membuat Aryo setia mendampingi Desi. Lilis sempat meminta maaf pada Aryo. Namun nasi telah menjadi bubur, Lilis tetap tidak bisa merubah takdirnya.

Setelah tiga tahun pasca Lilis melakukan santet, ia meninggal dengan ada butiran airmata jatuh dipipinya.
Inilah 'kontrak' mati Lilis kepada sang syaitan yang telah meracuni pikirannya. Semua karena ambisi dan tekadnya mendapatkan cinta yang jelas-jelas tidak bisa ia dapatkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SANTET !!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang