PART 4

5K 195 9
                                    

Berbulan-bulan aku tinggal di rumah Emak, menjalani aktifitas menggoreng kerupuk dan mengantarnya ke warung. Sesekali aku dan Riani membeli bahan bakunya di pasar pada saat matahari mulai menampakkan sinarnya.

Sesekali juga aku mengajak Riani untuk mampir sebentar ke rumah peninggalan Bang Miftah sekedar untuk membersihkan debu-debu dan beristirahat sejenak. Aku masih tidak sanggup bila harus menginap lama di rumah ini, kenangan disetiap sudut rumah selalu membawaku pada Bang Miftah.

"Mbak, gak coba buat nikah lagi?" Tanya Riani, kami baru selesai mengantarkan kerupuk ke warung makan yang lumayan besar dekat kota.

"Belum kepikiran, Ni. Mbak masih ingin sendiri dulu," sambil ku seruput es jus mangga favoritku. Kami berdua duduk disebuah kedai dipinggir jalan.

"Keluarga Mas Miftah sudah mengijinkan Mbak menikah lagi, kan?"
"Sudah, sih. Tapi aku yang masih belum mau."

Entah mengapa, sulit rasanya ku buka lagi hati ini untuk menerima cinta yang baru. Padahal masa iddahku sudah selesai tiga bulan lalu.

"Mbak, nanti mampir dulu ya ke rumah Mbak Desi. Katanya dia kemarin mau pesan kerupuk Emak buat acara di rumahnya."
"Kamu tahu alamatnya?"
"Iya, tahu."

Kami mempercepat menyedot jus masing-masing dan menuju ke rumah Desi. Cuaca saat itu menandakan akan turun hujan, langit mendadak gelap dan angin kencang menerpa. Riani duduk membonceng dibelakang. Aku melajukan motor karena takut kehujanan dijalan.

Setelah tiba di rumah Desi, Riani mengetuk pintunya. Rumah yang lumayan luas dengan pekarangan yang tertata rapi. Rumput empuk sebagai penghias latar, dengan beberapa pohon bonsai besar yang di bentuk seperti bola. Terdapat ayunan besar dan ornamen kayu jati di pinggiran kursi di terasnya. Pasti orang kaya, gumamku.

"Assalamualaikum, Mbak Desi."

Breeessss .... Hujan turun dengan lebatnya. Untunglah kami sudah sampai.

"Waalaikumussalam," seorang lelaki kelur dari dalam rumah. Perawakan tingggi, berkulit putih, memiliki bola mata yang tajam, memakai celana jeans pendek sehingga nampak bulu di kakinya dan mengenakan kaos berwarna biru muda.
Aku menelan ludah.

"Mbak Desi nya ada?" Tanya Riani.
"Oh, ada. Sebentar saya panggilkan."

Lelaki itu masuk menuju ke dalam rumahnya. Mungkin dia lupa mempersilahkan kami untuk duduk sebentar. Terpaan angin yang kencang, membuat bajuku basah terkena air hujan, aku dan Riani berusaha menepi ke sudut teras rumah Desi.

"Eh, kok gak masuk aja? Ayo masuk sini, Ni." Seorang wanita yang terlihat lebih tua daripada aku menyambut kami dengan senyuman hangatnya. Berambut sebahu tergerai lurus, memakai baju dinas khas ibu-ibu, alias daster.

Kami memasuki rumahnya. Besar, ada hiasan guci-guci antik, tulisan kaligrafi yang tertempel di dinding ruang tamu, dan lemari hias berisikan koleksi tas mahal.

"Silahkan duduk," ucap Desi.
"Kok kamu gak bilang dulu kalau mau kerumah, Ni?" Lanjutnya.
"Ponselku lowbatt, Mbak. Mau telepon pakai handphone Mbak Lilis, aku gak hafal nomornya Mbak Desi," jelas Riani.
"Oh, ini Mbak Lilis, ya? Yang pernah kamu ceritakan dulu?" Dia menatapku.
"Iya," sambutku.

"Jadi gimana, Mbak, soal kerupuk Emak kemarin?"
"Oh, jadi, jadi. Aku jadi pesan, Ni. Acaranya sore lusa, tapi kemungkinan Mas Aryo yang ambil ke rumah kamu, ya. Aku bisa sibuk mempersiapkan acara," jelas Desi.
"Mas Aryo?" Tanya Riani.
"Iya, yang tadi itu. Suamiku, namanya Mas Aryo."

Selesai membahas masalah pesanan kerupuk, kami bermaksud ingin pamit pulang. Namun hujan tak kunjung berhenti, kasihan Emak jika ditinggal lama-lama di rumah sendirian.

"Biar diantar Mas Aryo aja, ya? Kasihan kalian, hujannya masih deras sekali," Desi mengantar kami sampai pintu dan melihat hujan yang masih sangat deras.
"Apa tidak merepotkan, Mbak?" Kataku.
"Ah, biasa aja. Biar Mas Aryo tahu rumah kalian, jadi nanti waktu ambil kerupuk gak usah tanya-tanya lagi,"
"Motorku gimana?" Kata Riani.
"Besok biar diantar sama Pak Bas, pembantuku."

Desi masuk kedalam rumahnya, mungkin memberitahu suaminya.

Benar saja, mobil Fortuner hitam keluar dari garasi. Tak tampak siapa yang menyetirnya, entah Pak Bas atau kah Mas Aryo yang didalam.

Kami berpamitan pada Desi, melangkahkan kaki dengan menutupi kepala menggunakan tas yang kami bawa. Aku memasuki mobil itu. Mas Aryo tersenyum padaku.

Mobil pun melaju menembus derasnya air hujan, aku dan Riani duduk di kursi belakang. Tentu saja, sesekali aku mencuri pandangan ke wajah Mas Aryo. Riani memberi intruksi arah jalan menuju rumah. Akhirnya tiba di rumah, kami berterimakasih kepada Mas Aryo, dan tak lupa, senyum terbaik ku persembahkan.

***

Emak memang sudah terbiasa dengan pesanan kerupuk yang lumayan banyak, tak jarang membuat Emak kewalahan sehingga tidur larut malam karena harus menggoreng dan membungkusi kerupuk. Usaha Emak ini sudah berlangsung sejak aku masih SMP dan Riani masih duduk dibangku sekolah dasar. Semenjak Abah meninggal karena sakit TBC, Emak lah yang menghidupi kami bertiga hingga akhirnya Mas Bahrul menikah dengan orang Lampung dan merantau kesana.

Sudah lama Mas Bahrul tidak pulang ke rumah Emak, menelepon pun juga sangat jarang. Emak tidak pernah menuntut diberi uang perbulan, karena Emak tahu keadaan ekonomi Mas Bahrul yang sangat pas-pasan. Saat aku dan Bang Miftah menikah pun, ia tidak datang karena tidak mampu membeli tiket pulang dan pergi. Kasihan melihat Emak jika masih tetap bekerja diusianya yang menjelang tua, tapi Emak tipikal orang yang tidak mau berdiam diri, ia senang bila ada kegigan yang dilakukan. Ditambah sekarang aku menumpang lagi di rumah Emak, membuatku semakin kasihan melihatnya.

Bruummm ...
Terdengar bunyi mobil berhenti didepan rumah.

"Asaalamualaikum,"
"Waalaikumussalam," aku menuju pintu yang terbuka sedari tadi. Mas Aryo datang mengambil pesanan kerupuk, dengan setelan rapi memakai jas dan dasi. Tak lupa sepatu hitam yang mengkilap.

"Oh, Mas Aryo. Silahkan masuk, Mas. Sebentar saya ambilkan kerupuknya."
Dia hanya tersenyum. Aku menuju dapur dan membawa lima bungkusan plastik besar berisikan kerupuk.

"Masih banyak?"
"Tinggal dua plastik besar lagi."
Aku meletakkan plastik kerupuk di bagasi mobilnya, dia menungguku sambil membukakan pintu bagasi.

"Sudah?"
"Sudah, Mas."
Ku hirup bau parfumnya, nikmat sekali.

"Berapa totalnya?"
"Yah, berapa, ya? Kemarin Mbak Desi bilang berapa harganya?" Aku balik bertanya.
"Loh, gimana, sih?" Dia mengernyitkan dahi. Ekspresinya lucu sekali.
"Riani dan Emak lagi pergi kepasar, saya lupa tanya harganya," aku menggaruk kepala.

"Aku telepon Desi dulu, ya," katanya.
Aku mengangguk.

Berulang kali dia mencoba menelepon Desi, nampaknya tidak diangkat.

"Gak diangkat. Mungkin lagi sibuk persiapan acara nanti malam,"
"Aku bawa dulu, ya. Nanti aku balik lagi kesini buat bayar," lanjutnya.

"Iya, maaf merepotkan, Mas."
"Oh, ya. Motor kamu sudah di kembalikan Pak Bas?"
"Oh, sudah, Mas. Kemarin sudah diantar. Terimakasih," aku mencoba memberikan senyum terbaik.

"Ya, sudah. Aku pulang dulu, ya. Nanti kalau sudah tahu harganya, pasti segera ku bayar," dia menutup pintu bagasi mobil.

Seeerr ....
Tengkuk ku kembali merinding. Padahal tidak ada angin saat itu, bulu-bulu halusku pun terasa berdiri semua. Aku mengusapnya.

Bersambung.

SANTET !!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang