PART 10

4K 152 11
                                    

"Mbak, Mbak... bangun.... Mbak!"
Aku merasa ada yang menggoyang-goyangkan tubuhku. Membuka mata perlahan, melihat sekeliling, rupanya aku sudah berada di kamar.

"A-ada apa, Ni? Mbak tadi kenapa?" Suaraku parau, badan sungguh lelah sekali.

"Mbak pingsan dari tadi malam." Kata Riani.
"P-pingsan?" Aku memegang kepala, pening rasanya.
"Iya, Mbak. Sudah dua hari Mbak tidak pulang, tadi malam Emak menemukan Mbak sudah tertidur di teras." Jelas Riani.

Dua hari? Perasaan baru tadi malam aku sampai rumah lalu tertidur.
Aku malas membahas ini. Aku yakin ini ada hubungannya dengan kunjunganku pada Ki Handi dan boneka itu. Riani membantuku duduk diatas kasur dan memberiku teh hangat.

"Emak kemana?"
"Emak ke rumah Pak Ramli, takut kalau Mbak ada apa-apa, jadi Emak meminta bantuan Pak Ramli."

Pak Ramli adalah tetangga Emak dan sudah dianggap seperti saudara sendiri.
Suara orang ramai berdatangan masuk ke rumah. Emak dalam kondisi menangis, langsung menuju kedalam kamarku.

"Ya Allah, Gusti. Alhamdulillah kamu sudah sadar, Lis." Emak memelukku. Kerumunan para lelaki yang datang membuat sumpek kamarku. Diantara mereka ada Pak Ramli. Atas permintaan Emak, mereka semua pulang ke rumahnya masing-masing meninggalkan aku, Emak dan Riani.
Emak mengambilkan makan siang dan menyuapiku.

"Akhir-akhir ini, kamu bertingkah aneh, Lis. Ada apa sebenarnya?" Tanya Emak sambil menyuapiku.
"Mak, Lis boleh tanya sesuatu?"
"Ya, katakanlah."
"Siapa sosok wanita berbaju merah dan memakai rok hitam itu, Mak?"

Emak terdiam. Menghentikan gerakannya memegang sendok dan menghela nafas.

"Dia kakak Emak yang paling tua. Dia meninggal karena terkena guna-guna yang ia tujukan kepada selingkuhan suaminya."

Aku terkejut. Pantas saja dia tidak suka saat aku berkunjung ke rumah Ki Handi kemarin.

"Emak bilang, Bude meninggal karena sakit?" Tanyaku penasaran.
"Iya, memang sakit. Sakit yang tak kunjung sembuh karena ilmu guna-gunanya menjdi senjata makan tuan. Dia sudah tidak bisa memberikan tumbal lagi kepada syaitan yang menjeratnya."

Jantungku berdebar. Dasahku berdesir dan keringat dinginku bercucuran. Inikah yang dimaksud 'kontrak' oleh Ki Handi?

****

Malam bulan purnama tiba. Sore tadi aku sudah membeli sesajen untuk ritual malam ini. Aku sungguh mantap untuk mendapatkan hati Mas Aryo dan membuat Desi semakin cepat menghadap Tuhan.

Aku tidak tidur malam itu karena takut akan terlewat jam dua belas. Sambil menelepon Mas Aryo demi membunuh rasa kantuk yang sedari tadi ku tahan. Melepas rindu dengannya yang sudah lama tak berjumpa. Sebentar lagi, kamu akan menjadi suamiku, Mas!

Emak dan Riani sudah tertidur lelap. Aku memulai ritualnya. Ku buka secarik kertas dari Ki Handi kemudian membacanya dengan sungguh-sungguh. Hawa panas menyelimuti seluruh ruangan kamarku. Jantungku berdegup kencang. Dengan teliti aku membaca manteranya. Membayangkan wajah Desi dengan fokus, memegang boneka itu ditanganku.

Aku menusuk boneka itu dibagian kakinya. Berulang kali ku lakukan tusukan itu menggunakan jarum yang diberi oleh Ki Handi.

Aku sebenarnya tak yakin ini akan langsung mengenai Desi, tapi siapa yang meragukan kekuatan seperti ini? Aku berusaha meyakinkan diriku.

****

"Mas, malam ini kita jalan, yuk? Sudah lama kita tidak berkencan." Ajakku sewaktu bertemu Mas Aryo disebuah kedai siang itu.
"Maaf, Lis. Malam ini aku tidak bisa." Jawabnya.
"Kenapa? Kamu sibuk?"
"Desi sakit lagi. Entah kenapa, kakinya mendadak lumpuh." Terlihat raut wajah sedih Mas Aryo.

Mataku terbelalak. Benarkah ini terjadi?

"Loh, memangnya kenapa, Mas?"
"Aku tidak tahu. Padahal sebelumnya dia biasa-biasa saja."
"Boleh aku menjenguknya?"
"Silahkan saja. Tapi tolong bawa Adikmu, agar tidak dia tidak curiga." Terangnya.
"Baiklah."

Malam itu aku mengajak Riani menjenguk Desi di rumahnya. Dengan rasa senang, aku melangkahkan kaki memasuki rumahnya.

"Ya Allah, Mbak. Kok bisa sampai begini?" Aku melihat Desi duduk dikursi roda yang didorong oleh Mas Aryo.
"Ya, aku tidak tahu juga, Mbak. Tiba-tiba kakiku mati rasa. Aku tidak bisa menggerakkannya."
"Sudah berobat?"
"Sudah. Kata dokter kakiku tidak sakit apa-apa."
"Yang sabar, ya, Mbak." Aku mengelus pundaknya.

"Mas, antar aku ke kamar. Aku mau sholat Isya." Kata Desi pada Mas Aryo. Dengan sabar Mas Aryo mendorong kursi roda Desi. Semoga kamu lekas mati, Des!

Aku pamit pulang pada Mas Aryo. Dia terlihat tabah menerima keadaan Desi yang sudah lumpuh seperti itu.

Tiba di rumah, aku bergegas masuk kedalam kamar, menyusun peralatan ritualku. Aku ingin Desi segera menemui ajalnya. Aku abaikan perkataan Ki Handi yang menyuruhku melakukan ritual hanya saat malam bulan purnama saja. Aku pikir, lebih sering ku lakukan, Desi akan cepat mati.

Memegang boneka itu dan membacakan manteranya. Sambil fokus membayangkan wajah Desi yang kesakitan. Senyum tersinggung dibibirku.

Aku menusukkan jarum kebagian perut dan tangan boneka itu. Hawa di kamar semakin panas. Tubuhku gemetar, boneka itu berlempar dari tanganku. Terkejut dengan nafas yang tersengal. Air dari cawan berisi potongan kembang itu tumpah ke lantai.

"Ada apa, Lis?" Emak mengetuk pintu kamarku.
"T-tidak ada apa-apa, Mak."

Aku memungut boneka itu kembali. Mengulangi ritual, membacakan jampi-jampi dan semakin fokus membayangkan Desi menderita.

Lagi-lagi, boneka itu terpental. Jantungku berdegup semakin kencang. Keringatku bercucuran. Tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Antara sadar dan tidak, aku kembali berada disebuah singgasana berwarna emas yang dulu pernah ku temui. Aku tahu ini hanya mimpi.

Kini suasana di singgasana ini berubah menjadi sangat panas. Aku tak melihat sosok wanita berbaju hijau itu disana.

Tiba-tiba, dua mahluk besar datang dari arah belakangku. Badannya sangat besar, memakai celana pendek berwarna hijau. Tangannya kekar, menyeret tubuhku kebelakang. Ingin berteriak tapi suaraku sama sekali tidak terdengar. Dengan kasar mereka menyeret tubuhku yang hanya separuh dari ukuran tubuh mereka.

Berulang kali aku meronta dan berusaha melepaskan cengkraman dari tangan kasar mereka. Tubuhku mengguliat. Berkali-kali aku menjerit meminta tolong, tapi tetap tidak ada suara yang keluar dari mulutku.

Bersambung.

SANTET !!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang