PART 3

5.7K 203 4
                                    

Akhirnya tiba juga dirumah Emak. Ingin rasanya membagi keluh kesah dan kesepianku pada Emak. Beliau adalah orangtuaku satu-satunya sekarang, setelah kepergian Bapak, Emak dirumah bersama Riani saja, dia masih kelas 3 SMP.

"Assalamualaikum, Mak," aku mengetuk pintu rumah Emak.
"Waalaikumussalam, Mbak. Masuk, masuk." Riani menghampiriku.

Aku memeluknya. Riani tahu betul kondisiku sekarang, menumpahkan airmataku dipundaknya, membuatku terasa lega. Aku melepaskan tas yang ku jinjing ke lantai.

"Sabar, Mbak. Semuanya akan baik-baik saja." Riani mengelus pundakku yang masih memeluknya.

Aku masih sesenggukan.
"Mana Emak?" Tanyaku sembari menyeka airmata di pipi.

"Ada. Emak lagi di dapur goreng kerupuk."

Rumah Emak memang besar dan luas, sehingga jika ada tamu yang datang, tidak terdengar apabila Emak sedang didapur.
Sehari-hari kegiatan Emak adalah berjualan kerupuk udang, membeli bahan baku dipasar kemudian menggorengnya dan menjualnya di warung-warung tetangga.

"Maaaaakkk ..." aku menghambur kepelukan Emak yang sedang duduk didepan tungku penggorengan.

Emak menoleh, melepaskan peniris kerupuk.

"Mak," aku menangis dipangkuan Emak.
"Iya, Lis. Sabar, ya." Emak mengelus kepalaku.
"Mak, Lis gak kuat, Mak." Ku telungkupkan wajah ke kaki Emak.

"Sabar, Lis. Kalau kamu ikhlas, in syaa Allah Miftah tenang disana."

Tok .... tok .... tok

"Mak, ada tamu." Aku bangkit.
"Mana? Kok Emak gak dengar apa-apa," ucap Emak.

Seeer ...
Tengkukku tiba-tiba dingin, semilir angin yang entah dari mana meniup halus kulit leherku.

Aku beranjak menuju pintu dan membukanya. Hening, tidak ada siapapun.
Ah, mungkin anak-anak iseng mengetuknya.

"Na, tadi dengar suara ketukan pintu gak?" Kataku pada Riana yang muncul dari dalam kamarnya.
"Gak ada, Mbak. Aku loh dari tadi di dalam kamar, gak dengar apa-apa."

Abaikan saja. Meski terkadang, bayangan Bang Miftah seakan mengikutiku kemari, biasanya saat tiba dirumah Emak, dia selalu duduk di dipan kayu rotan yang terletak di ruang tamu. Sambil menyuruhku membuatkan kopi hitam kesukaannya.

Aku memasuki kamar, menyibakkan tirai penutup pintu, melihat ke arah ranjang tua yang dimana dulu ku habiskan malam tertidur di atas situ semasa bujangan.
Selama menikah dengan Bang Miftah, terhitung empat kali kami mengunjungi rumah Emak, karena lebih memilih tinggal dirumah sendiri agar lebih mandiri. Dan yang kelima, aku datang seorang diri, dengan sejuta kesedihan.

Ku usap bantal lusuh yang menumpuk di atas kasur, mengingat saat tidur di ranjang ini bersama Bang Miftah.

Tuk, tuk, tuk ...

Ku dengar suara ketukan didalam lemari kamar. Aku langsung menghampiri dan membuka pintu lemari. Kosong. Tidak ada apa-apa.

Semua baju-bajuku sudah dibawa ke rumah, termasuk perlengkapan yang lainnya. Jadi yang tertinggal dikamar ini hanya lemari kosong, cermin kecil beserta ranjang dan kasur.

Ku buka tirai jendela, menghirup udara sore. Melihat keluar jendela, hamparan rawa-rawa yang dipenuhi enceng gondok. Rumah Emak memang terletak di kawasan rawa, sehingga tak jarang jika musim hujan tiba selalu terkena banjir yang lumayan dalam.

Kembali memoriku memutar kenangan tempo hari, dimana aku, Riana dan Bang Miftah memancing di pinggiran rawa-rawa. Kami selalu menginap apabila berkunjung kerumah Emak, dua sampai tiga hari lamanya. Di sela-sela kegiatan membantu Emak membungkus dan mengantar kerupuk, Bang Miftah juga suka memancing. Dia adalah menantu kebanggaan Emak.

SANTET !!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang