PART 7

4.4K 172 5
                                    

Niatku untuk mendapatkan Mas Aryo sudah bulat. Dia berhasil membuatku nyaman disampingnya, dengan sosoknya yang begitu menawan. Kenapa Desi itu tidak cepat mati saja? Agar aku bisa segera dinikahi oleh Mas Aryo. Sudah tahu dia itu hanya parasit dihidup Mas Aryo, masih saja mencari belas kasihan.

Setahuku, Desi adalah wanita yang taat agama. Selain waktu mengantarkan Riani tempo hari, aku juga sempat bertemu dengannya di suatu pusat perbelanjaan. Dandanannya lusuh. Sama sekali tidak menggambarkan bahwa dia itu istri seorang Manager. Berbeda jauh denganku, apalagi semenjak tinggal di rumah Emak, penghasilan kerupuk meningkat drastis, dan aku selalu mendapatkan upah yang lumayan dari hasil menjadi kurir kerupuk Emak.

Upah itu aku gunakan untuk membeli kebutuhan make-up, pakaian modis dan tas bagus. Itu sebagai penunjang agar Mas Aryo tak terlihat malu saat jalan denganku. Dia pernah bercerita kepadaku tentang penampilan Desi yang serba tertutup jika sedang jalan berdua dengannya.

'Sayang, malam ini kita jalan, yuk?'
Ku kirim pesan singkat pada sang pujaan hati. Lama sekali menunggu balasannya. Tiba-tiba ponselku berdering, ada nama Mas Aryo memanggil.

Dengan gembira ku angkat telepon darinya.
"Assalamaualaikum, Mas?"
"Waalaikumussalam, Lis." Jawabnya disana.
"Ada apa, Mas?"
"Malam ini aku tidak bisa menjemputmu, Desi sedang kritis di rumah sakit, Lis." Jelasnya.
"Ya ampun, tinggalkan saja dia, Mas." Ucapku kesal.
"Ya, gak bisa gitu dong, Lis. Sudah, ya. Aku masih sibuk."

Dia menutup teleponnya. Dadaku bergemuruh. Sejak kapan dia mulai perhatian pada Desi? Biarkan saja dia mati.

****

Waktu berlalu. Aku semakin diacuhkan oleh Mas Aryo. Dia membuatku semakin ingin memilikinya secepat mungkin.

"Berapa, Pak?"
"Tiga belas ribu, Mbak."
Aku menyodorkan uang pecahan lima ribuan tiga lembar kepada si penjual es kelapa sore itu. Duduk sendirian dipinggir jalan raya, menikmati segarnya es kelapa dengan campuran sirup merah itu. Membuka ponsel dan membaca ulang isi pesan yang pernah ku kirim pada Mas Aryo. Kata-kata romantisnya membuatku luluh dan senyum-senyum sendiri. Melihat beberapa foto kami berdua, mesra sekali.

Teringat saat aku ingin mencium bibirnya, dia mengelak. Dia bilang belum saatnya. Kami hanya sebatas pegangan tangan saja, tidak lebih.

Diseberang kursi kedai ini, aku tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dua orang wanita yang perkiraan usianya tak jauh berbeda denganku. Dengan berpura-pura melihat ponsel, sedikit demi sedikit aku menguping pembicaraan mereka. Kedua wanita itu sedang membicarakan tentang temannya yang terkena santet oleh mantan kekasihnya hingga ia jatuh sakit dan tak kunjung sembuh.

Entah setan mana yang merasuki, tiba-tiba aku ingin mencoba hal itu, melakukannya pada Mas Aryo dan Desi. Aku semakin mantap dan bersemangat.

Segera ku habiskan es degan dihadapanku, dan beranjak pergi meninggalkan kedua wanita dan kedai itu. Dijalan, aku semakin penasaran ingin mencoba jasa santet untuk mendapatkan Mas Aryo.

Aku mencari informasi tentang dukun yang bisa mengirimkan santet dan guna-guna pada seseorang. Disela waktu mengantar kerupuk, aku bertanya pada penjaga warung maupun orang-orang terdekat. Berdalih ingin mengobati sakit, aku menanyakan keberadaan sang dukun santet. Cukup lama, hingga aku mendapatkan informasi tentang keberadaan Ki Handi seorang paranormal. Selama itu juga, aku dan Mas Aryo masih saling berhubungan baik.

Kini sudah ku dapatkan alamat lengkap rumah Ki Handi. Aku tidak tahu dimana alamat itu berada, nampaknya disuatu tempat yang lumayan jauh. Tidak ada nomor ponsel yang bisa dihubungi, hanya bermodalkan tulisan disecarik kertas. Aku memberanikan diri berangkat menuju desa itu. Pamit pada Emak ingin mengunjungi saudara jauh Bang Miftah. Tentu saja aku berbohong. Mengendarai motor sendiri, membawa tas selempang berisikan jas hujan.

Diperjalanan, aku masih sering melihat sosok wanita berbaju merah dengan rok hitam selalu membuntutiku. Aku sudah terbiasa dengan sosoknya, dia menampakkan diri sekilas-kilas dan masih tetap dengan posisi membelakangiku.

Bertanya alamat kepada orang-orang sekitar, memberhentikan motorku memberanikan diri menanyakan rumah Ki Handi.

****

Disebuah rumah kayu beratapkan seng yang sudah berkarat, semacam pondok di tengah sawah, di halamannya terdapat jaring persegi sebagai kandang itik miliknya. Sepertinya, rumah itu tidak dialiri listrik, karena tak ada kabel yang melintasi atas rumahnya. Aku diantarkan oleh seorang ibu paruh baya yang tahu rumahnya Ki Handi. Ibu itu mengantarkanku sampai pinggir sawah saja dan menunjukkan rumahnya.

Jalan yang licin khas tanah persawahan sedikit mengganggu keseimbanganku saat berjalan. Dengan hati-hati aku menuju rumah Ki Handi yang terletak sekitar seratus meter dari bibir sawah.

Suara itik yang bersahutan menandakan mereka sedang melihat orang asing menuju ketempat ini.

"Assalamualaikum, Ki?" Ucapku sambil mengetuk daun pintunya.
"Waalaikumsalam, siapa?" Suara yang cukup renta ku dengar dari arah dalam rumah.
"Saya, Ki. Mau meminta tolong."

Ki Handi membukakan pintunya. Perawakan yang lebih pendek dariku, memakai baju dan celana hitam, ada kupluk diatas kepalanya. Terlihat cukup tua karena kulitnya yang sudah terlihat keriput.

"Masuk." Ajak Ki Handi.
Aku mengangguk. Kami berdua duduk didalam rumahnya, tidak ada alas apapun, hanya kayu. Dan ku lihat banyak sekali cawan-cawan kecil berisikan bunga warna-warni. Bau dupa yang tertancap disebuah wadah berisikan beras kuning. Ada pula berbagai macam bentuk tulang, entah tulang apa. Belum lagi didinding gubuk ini banyak tengkorak kepala hewan bergantungan. Bulu kudukku berdiri.

"Ada apa?" Ki Handi membuka percakapan kami.
"Anu, Ki. Saya mau minta tolong sama Aki. Saya mau mendapatkan hati seseorang." Jelasku. Ki Handi mengangguk sambil mengelus jenggotnya yang mulai memutih.

"Iya, saya paham. Mau pakai metode apa?" Kata Ki Handi.
"Adanya apa saja, Ki?"
"Ya, terserah kamu. Mau yang mana. Semua ada disini." Jelas Ki Handi.
"Santet, bisa?"
"Kamu kesini bawa adik atau kakakmu?" Ki Handi bertanya. Aku celingukan.
"T-tidak bawa siapa-siapa, Ki. Hanya saya sendirian." Jawabku gugup.
"Oh, dia tidak suka kamu kemari. Dia bilang sama saya."

Aku semakin terheran-heran, mungkinkah sosok wanita yang berbaju merah itu?

Bersambung.

SANTET !!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang