PART 6

4.6K 178 13
                                    

Kali ini, aku yang menjadi kurir antar kerupuk, Riani sakit demam, mungkin kelelahan setelah wara-wiri mengantarkan dagangan bersama Emak. Dulu, sebelum menikah akulah yang menjadi kurir kerupuk, saat itu Riani masih sekolah, jadi aku sudah hafal tempat langganan Emak.

Setelah selesai membungkusi kerupuk, Emak memasukkannya kedalam karung berwarna biru besar, mengikat bagian atasnya lalu meletakkannya di jok motor belakang. Memastikan karung itu kuat dan tidak goyang terkena terpaan angin. Dirasa mantap, aku memulai mengantarkan sumber penghasilan kami, hari ini, ada lima buah warung yang akan ku datangi menitipkan kerupuk-kerupuk ini.

Cuaca mendukung, cukup cerah namun sedikit mendung dibagian utara, mengingat bahwa jas hujan selalu ku bawa kemana-mana.

Tiba di warung pertama, si penjaga nampak sudah akrab dengan kedatanganku, ia langsung memintaku meletakkan kerupuk pesanannya didalam toples besar yang tersedia diatas masing-masing meja warung. Ia pun memberiku beberapa lembar uang, katanya ini bayaran untuk kerupuk Emak yang sudah laku kemarin. Aku mencatatnya diponselku agar tidak lupa.

Aku kembali meneruskan perjalanan, melewati bangunan-bangunan ruko yang menjulang tinggi di kota. Lalu lalang kendaraan berseliweran membalap motorku. Aku tidak berani melajukan motor dengan kecepatan diatas empat puluh kilo meter per jam, takut jika karung berisi kerupuk ini akan berhamburan kemana-mana. Aku melewati sebuah tempat yang tidak asing diingatanku, ya, dealer mobil milik Mas Aryo. Ku hentikan sejenak motorku dipinggir jalan raya tepat didepan ruko dealernya. Tak tampak Mas Aryo disana, hanya ada beberapa karyawan saja yang sedang duduk dan ada yang berdiri mondar-mandir. Aku pun tidak melihat mobil Fortuner hitam yang biasa ia gunakan jika kerumahku.

Senyum tersungging dibibirku, membayangkan betapa bahagianya si Desi memiliki Mas Aryo. Gagah, tampan, kaya raya adalah dambaan setiap kaum hawa. Aku menutup kaca helm dan melanjutkan mengantar kerupuk.
Sampai di warung kedua, memarkir motor dan menurunkan karung kerupuk.

"Loh, kamu disini?"
"Eh, Mas." Aku terkejut, Mas Aryo!

"Iya, aku sarapan dulu disini, sambil nunggu katanya ada yang mau meeting sama aku." Dia masih duduk dikursi warung. Terlihat ia sedang menyantap hidangan pecel dengan lauk ayam goreng dan secangkir teh hangat.

"Oh, aku mengantar kerupuk, Mas. Disini langganan Emak."

"Sini, sarapan dulu aja, temani aku." Pintanya.

Entah mengapa, badanku terasa refleks menuruti perintah Mas Aryo, ia memesankanku sepiring nasi rames dan air putih hangat.

"Sudah lama jadi langganan disini?" Katanya sambil menyuap sisa nasinya, dia tepat duduk dihadapanku.

"Sudah lumayan." Jawabku sambil mengaduk nasi rames dipiring.

"Kalau boleh tahu, suamimu meninggal karena apa?" Tanya Mas Aryo sembari menyeruput teh hangatnya.
"Jatuh dari atap rumah, Bang Miftah jadi kuli bangunan."
"Sekarang, gak berniat untuk menikah lagi? Kan masih muda, hehe ...." Dia memperlihatkan barisan giginya yang besar dan rapi.

"Belum terpikir, Mas. Masih senang membantu Emak dulu."

Cukup lama kami mengobrol hingga tak terasa makanan yang kami pesan sudah ludes. Mas Aryo asyik, suka diajak bercanda dan bertukar pikiran. Orang yang kritis dan berwibawa.
Aku kagum padanya.

****

'Aku jemput, ya.'

Sms masuk dari ponselku.
Ya, dari Mas Aryo. Entah dari mana asal mulanya, hubungan kami semakin intens. Aku menyadari bahwa posisi ini sangat berdosa karena menjalin suatu hubungan dengan Mas Aryo yang masih berstatus sebagai suami Desi.
Mas Aryo bilang, bahwa Desi sudah lama sakit kista dibagian rahimnya. Sehingga sulit untuk mendapatkan anak. Setiap pulang kerja, Mas Aryo mampir ke rumah Emak membawakan martabak, pisang keju atau cemilan lainnya.

Berulang kali Emak dan Riani memperingatkanku bahwa tindakan ini salah besar. Tapi mungkin disisi lain, aku merasakan ada sebuah getaran cinta yang tumbuh kembali semenjak ditinggal Bang Miftah.

Tak jarang aku dan Mas Aryo pergi makan malam berdua di sebuah kafe. Mas Aryo termasuk orang yang sibuk, jadi tidak sulit baginya untuk berbohong kepada Desi.

"Kenapa Desi gak dioperasi saja, Mas?" Tanyaku pada Mas Aryo.
"Sudah, sudah dua kali. Tapi entah kenapa, penyakitnya tak kunjung sembuh. Pakai cara alternatif juga sudah." Jelas Mas Aryo.

Jika dilihat dari sifatnya, Mas Aryo sangat mencintai Desi. Apapun kondisi Desi, dia masih setia mendampinginya berobat ke rumah sakit. Aku sedikit cemburu.

Berbulan-bulan menjalani hubungan gelap bersama Mas Aryo, membuatku tak tahan dengan status seperti ini. Aku ingin minta penjelasan tentang hubungan ini.

'Mas, malam ini jemput, ya.' Aku mengirimkan pesan padanya.

'Gak bisa, Lis. Malam ini jadwal kontrol Desi.' Balasnya.

'Kok gitu? Sejak kapan kamu peduli sama istrimu?' Rasa cemburu yang sudah diujung tanduk. Lama sekali ku tunggu balasan sms dari Mas Aryo, namun tak kunjung kuterima.

"Hati-hati, Emak sudah berkali-kali memperingatkanmu soal hubungan ini. Emak tidak mau kamu menjadi perusak rumah tangga orang, Lis!" Ucap Emak.

"Ah, tidak, Mak! Mas Aryo itu sudah bosan sama Desi. Dia mau menikahiku!" Jawabku sekenanya.

"Apa? Jangan main-main kamu, Lis! Emak tidak mau kamu bertindak kelewatan!"
"Lihat saja, Mak. Aku akan membuat Mas Aryo menceraikan Desi!" Aku meninggalkan Emak yang duduk bersamaku di dipan ruang tamu.

'Mas, kamu dimana? Aku kangen,' ku kirim sms pada Mas Aryo.

'Sabar, ya. Besok aku jemput kamu, kita makan malam berdua.'

Senyum sumringah terpancar dibibirku.
Akhirnya, aku akan bertemu sang pujaan hati.

****

Keesokan malam, Mas Aryo memenuhi janjinya. Dengan memakai celana jeans sedengkul, baju kaos berwarna hitam dan jam tangan, dia tampak seperti pangeran. Aku memoles wajahku supaya terlihat sangat cantik dihadapannya. Memakai baju atasan berwarna biru malam dengan aksen renda di lengannya dan rok sepan merah muda. Tak lupa sendal selop dan tas selempang warna senada. Rambut ku gerai saja.

"Yuk, Mas." Aku menggandeng tangan kekar Mas Aryo.

Kami memasuki mobil hitamnya. Duduk disampingnya, memangku tas selempang dan memasang safety-belt. Kami menuju disebuah kafe, rata-rata pengunjungnya adalah kaum elite. Terlihat dari mobil-mobil yang terparkir rapi dan dari pakaian mereka yang branded.

"Kamu pesan apa?"
"Hmm, seafood udang aja sama orange jus." Kataku sembari membuka-buka buku menu.
"Pastanya satu, seafood udang satu, minumnya orange jus dan mocca float." Ujar Mas Aryo pada pelayan kafenya.

"Mas, aku mau tanya sesuatu," ucapku.
"Apa?" Mas Aryo melepaskan ponsel yang sedari tadi dilihatnya.
"Aku ingin kejelasan dalam hubungan kita, Mas."
"Maksudnya?" Dia mengernyitkan dahi.

"Ya, aku ingin hubungan yang jelas. Selama ini kita sudah menghabiskan banyak waktu berdua. Dan ku rasa, aku mencintaimu."
"Hah? Yang benar saja kamu, Lis." Dia seolah tidak percaya.
"Benar, Mas. Aku mencintaimu, aku ingin menjadi istrimu."

"Apa? Istriku? Bagaimana dengan Desi?"
"Ya, kau tinggal menceraikannya saja, Mas. Lalu menikah denganku. Gampang, kan?"
"Gampang? Semudah itu menurutmu? Hahaha ..." dia semakin membuatku kesal.

"Mas! Aku serius!" Bentakku.
"Ya, aku juga serius. Tapi bagaimana dengan Desi? Dia tidak bisa hidup tanpaku. Aku satu-satunya penyemangat hidupnya." Jelasnya.
"Ya, kan lama kelamaan nanti dia juga bisa bangkit sendiri. Mau sampai kapan kamu terus bersamanya yang tidak bisa memberimu seorang anak?" Aku sungguh kesal padanya.

"Apa kamu menjamin akan memberiku anak? Hamilpun kamu tidak pernah."
"Mas, aku tidak mau kamu permainkan seperti ini. Aku juga punya hati!" Lagi-lagi aku membentaknya.

"Siapa yang permainkan kamu? Aku sayang padamu, tapi tidak untuk memilikimu." Ungkapnya.

Darahku semakin naik saja mendengar ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Mas Aryo.

Lihat saja, aku akan membuatmu menikahiku!

Bersambung.

SANTET !!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang