prologue: sun and moon

764 52 2
                                    

Three things cannot be long hidden:
the sun, the moon, and the truth.

[ Buddha ]

***

Gue otw rumah lo.
01.22 am

Darsa menaruh ponselnya di kursi yang terletak di samping kursi pengemudi. Mengatur perseneling, cowok itu lantas menjalankan mobil Audi putihnya keluar dari pekarangan. Di waktu yang menunjukkan dini hari seperti ini jalanan memang tidak terlalu padat, sehingga Darsa bisa dengan bebas berkendara dalam kecepatan di atas rata-rata.

"Dasar anak tidak tahu diuntung! Keluar kamu, gak usah kembali lagi ke sini, saya gak pernah punya anak kurang ajar seperti kamu!"

Darsa dengan refleks menginjak pedal rem ketika seekor kucing berhenti tepat beberapa meter di depan mobilnya. Keadaan jalanan yang lengang menguntungkan Darsa karena cowok itu tidak harus dihujani oleh sahutan klakson atau makian dari pengendara lain sebab mengerem secara mendadak.

Melepas seatbelt, Darsa kemudian turun dan menghampiri seekor anak kucing yang terlihat shock karena hampir tertabrak. Dilihat dari kondisinya, sepertinya anak kucing itu tengah mengalami cidera di bagian kaki kanannya.

Darsa berjongkok, mengelus pelan tengkuk dari anak kucing tersebut dan meraihnya ke dalam dekapan.

"Kaki kamu sakit?" kata Darsa lembut.

Anak kucing itu mengeong pelan, menatap Darsa dengan matanya yang terlihat berkilau. Darsa jadi teringat akan seseorang dengan tatapan yang sama.

"Kamu tahu, kamu mirip kayak seorang teman." Masih sambil mengelus anak kucing tersebut, Darsa kembali berujar pelan, "Seorang teman yang suka banget sama kucing, padahal dia sendiri alergi bulu kucing." Darsa tertawa, terdengar bagai tawa yang sarat akan kesenduan.

"Tapi sekarang, dia udah bukan lagi teman. Dan aku ... benci menganggapnya seperti itu." Tepat setelahnya, hening kembali menyergap. Sampai akhirnya, Darsa ada pada satu titik di mana ia tak bisa lagi menahan air matinya untuk tidak keluar.

Malam itu, di tengah angin yang tenang, Darsa menangis. Isakannya teredam oleh beberapa mobil yang masih berlalu lalang dan yang mendominasi hanyalah suara mengeong dari anak kucing di pangkuannya. Seolah mengerti kalau cowok itu tengah kesepian, anak kucing itu datang layaknya seorang teman yang menenangkan, memberi Darsa kesempatan untuk jauh dari semua gengsi dan menangis atas apa yang terjadi dalam hidupnya. Atas semua ketidakadilan dan rasa sesal yang tak henti mendesak Darsa pada tiap detik dan menitnya.

Darsa lelah.

Dan untuk itu, Darsa ingin menyerah.

***

Tok ... tok ... tok ....

Darsa mengetuk pelan pintu cokelat yang sudah sangat familiar baginya. Tak lama setelahnya, pintu dikuak, menampakkan sosok cowok yang terlihat berantakan dengan kaus hitam dan boxer abu-abu yang dikenakannya.

Cowok itu menatap kesal ke arah Darsa, baru hendak memaki namun urung ketika melihat seekor anak kucing yang terlihat tenang dalam gendongan Darsa.

Cowok itu melotot, kini malah menatap tidak percaya kepada Darsa yang masih menatapnya dengan tatapan datar. "Lo habis ngapain sih, anjir?! Ini terus ngapain bawa-bawa anak kucing segala?!"

"Fyi, ini udah jam setengah tiga dan lo berpotensi bikin orang di rumah lo bangun karena emang suara lo segede itu," sahut Darsa dengan tatapan yang menurut Akta sangat menyebalkan.

tacenda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang