1. DAFNI

37 2 0
                                    


            Anak mana yang tidak bersuka cita melihat kolam dangkal berair jernih berkilauan ditimpa sinar matahari pagi? Mereka pun bersorak gembira, melepas baju dan celananya, berebut mengambil pelampungnya, lalu mencebur ke kolam. Pekik riang, cipratan air, dan gelak tawa mewarnai suasana.

Hanya satu anak kecil yang berdiam di tepi kolam. Wajahnya murung menahan tangis. Tangannya gemetaran dan pandangannya ketakutan.

"Dafni, ayo, ambil pelampungnya dan masuk ke kolam."

Bujukan gurunya tidak membuatnya bergerak.

"Ayo, masuk ke kolam," gurunya mulai kehilangan kesabaran. "Kenapa kamu berdiri disitu terus? Tidak ingin berenang bersama teman-teman?"

Seorang ibu datang dari belakang. Tangannya memegang pundak sang anak.

"Ibu guru," demikian dia berkata. "Mohon maklum. Anak saya dulu pernah hampir tenggelam di sebuah kubangan air dekat rumahnya. Dia masih takut dengan air."

"Oh, begitu? Kapan itu terjadinya?"

"Dua tahun yang lalu, waktu dia belum masuk sekolah."

"Dua tahun? Kan sudah lama? Masak masih takut?"

Dafni kecil hanya bisa tetap diam. Dua tahun dengan kenangan buruk. Mau sampai kapan?

***

Mata.

Mungkin hanya segelintir orang yang tahu asal muasal mata pada mahkluk hidup. Konon, milyaran tahun lalu ketika makhluk hidup masih hanya berupa segumpal ganggang berstruktur sel sederhana, ada bagian lunak yang kemudian melesak dan retak. Pada celah itulah cahaya masuk. Lalu celah itu pun membesar, menjadi makin dalam, dan berkembang seiring dengan bergulirnya waktu. Itulah asal mata.

Mata.

Mata adalah jendela jiwa. Seorang guru yang sehari-hari menekuni kertas, layar laptop, dan papan tulis pernah terkesima melihat betapa menariknya mata para muridnya ketika mereka sedang sibuk mengerjakan ujian di bangkunya masing-masing. Ada yang lebar, ada yang sipit, ada yang belok, ada yang berkelopak tebal, bahkan ada yang nyaris tanpa kelopak. Semuanya indah dengan cirinya masing-masing. Pada kesempatan lain, guru itu sengaja memandang ke dalam mata para muridnya. Sepersekian detik cukup menyadarkannya betapa sinar yang terpancar dari setiap pasang mata mengandung beribu makna tak terucap. Ada yang tegas, ada yang tajam, ada yang setengah hampa, ada yang sayu dan ragu, ada yang keras, ada pula yang lembut mendayu.

Mata.

Dafni membuka matanya. Mata itu tak pernah lagi sama sejak sebulan yang lalu. Bentuknya yang bagus dengan diteduhi sepasang bulu mata yang lentik tak mampu menahan kesedihan dalam pancarannya. Bahkan setelah beberapa saat, keduanya membasah. Dafni menangis dalam diam.

Satu helaan nafasnya terasa berat.

Lalu cepat tangannya mengusap air mata yang mulai menggenang, seolah butiran bening itu adalah barang tabu yang tak boleh muncul di parasnya yang ayu namun kuyu.

Dafni menutup matanya kembali. Dia berbaring dalam keheningan subuh diselimuti kegelapan kamarnya. Suara subuh selalu begitu: lirih, lamat-lamat namun ceria. Kicauan burung, sisa suara binatang malam, dan deru kendaraan di kejauhan seolah menjanjikan sesuatu yang lebih bergairah, lebih sibuk, namun juga lebih mengasyikkan. Tapi Dafni sudah sejak sebulan yang lalu tidak mau lagi menikmati sajian elok itu.

Tepat sebulan yang lalu, kedua matanya sudah tidak lagi memandang hal yang sama. Bangku depan rumah yang nyaman itu tidak lagi menghadirkan sosok ramping seorang Jafar. Dia tidak lagi bisa melihat wajah dan senyumannya. Layar ponselnya tidak lagi menyajikan wajah pria itu. Layar di Whatsappnya tidak lagi penuh dengan ucapan-ucapannya. Bahkan ucapan sesederhana "goodnite. I love you" di layar itu tidak lagi mengantarnya tidur setiap malam. Kedua matanya menatap layar kosong, bangku yang kosong, kursi penumpang di mobilnya yang kosong. Semua terasa begitu mendadak sehingga sempat dia berpikir tengah bermimpi buruk. Namun lalu tak lama dia tersadar bahwa Jafar memang sudah pergi dari dunianya.

Di Ujung KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang