"Jadi, kamu sudah menyerahkan tubuhmu ke Jafar?"
Nadia bersandar di pinggir pintu kamar ketika bertanya itu. Tangannya bersedekap di depan dadanya. Satu kakinya bersilang di depan yang lainnya. Matanya memandang Dafni yang kelihatan tersentak menerima pertanyaan seperti itu.
Dafni terdiam cukup lama. Bantal yang sejak tadi dipegangnya dia jatuhkan begitu saja ke ranjang. Nadia masih memandangnya dengan mata bertanya.
"Apakah itu masalah besar?" akhirnya Dafni berujar.
"Jadi jawabannya 'iya?' Nadia masih mencecar. "Atau, tidak'?"
Dafni terpaku dengan lidah kelu. Pandangannya menyorotkan perasaan setengah terkejut dan mulai terganggu. "Maaf, Nad," ujarnya. "Aku kurang suka diinterogasi dengan pertanyaan seperti itu. Lagipula, apakah jawabannya ya atau tidak atau belum, itu adalah urusan pribadiku. Moral tidak tergantung pada fakta bahwa seseorang masih perawan atau tidak."
"Aku tidak sedang bertanya tentang moral, Daf."
"Iya, memang tidak. Tapi caramu bertanya dan memandangku menyiratkan kamu sedang mengukur moralku dari situ," Dafni berkata dengan pandangan tajam ke arah Nadia.
"Ya, bukan begitu juga, sih," pelan Nadia menjawab seolah juga ragu terhadap apa yang dikatakannya sendiri. "Tapi, bicara tentang moral ya, Daf, di budaya kita ini masalah keperawanan itu masih menjadi tolok ukur moralitas seseorang."
Dafni mengerutkan keningnya. Kedua ujung bibirnya menurun. Pandangannya menjadi lebih keras pertanda dia sangat tidak suka apa yang baru saja didengarnya.
"Moral itu lebih kepada apa yang kita lakukan untuk kebaikan orang lain," dia berkata. "Sejak kapan utuh tidaknya selaput dara seorang wanita menjadi ukuran nilai kebaikan untuk manusia lain? Sekarang kita timbang-timbang, Nad, mana yang lebih bermoral: beberapa wanita yang atributnya menunjukkan orang saleh itu dan ternyata terlibat kasus korupsi atau skandal yang lain, atau seorang gadis baik-baik yang hidup bersih dan biasa-biasa saja yang sedang menjalin kasih dengan seorang pria."
"Jadi—"
"Wanita yang sudah kehilangan keperawanannya kepada kekasihnya itu kita sebut apa? Ya ndak kita sebut apa-apa lha wong itu masalah pribadinya, kok. Wanita yang terlibat korupsi milyaran rupiah itu lah yang jelas-jelas ndak bermoral karena nafsunya merugikan banyak orang, merugikan negara dan bangsanya."
"Jadi, Dafni, kamu benar sudah tidak perawan lagi? Kamu serahkan ke Jafar?"
Kali ini Dafni tidak bisa lagi menahan perasaannya. Dengan langkah bergegas dia mendekati Nadia yang masih tegak di tempatnya.
"Nadia," tegasnya. "Kenapa kamu begitu ngotot tentang masalahku? Itu masalah pribadiku, Nad. Sekalipun kamu teman baikku, aku terus terang tidak nyaman kamu mencecarku seperti itu."
"Ya, justru itulah, Daf. Justru karena kamu teman baikku itu aku ingin tahu apakah kamu masih murni atau tidak?"
"Ckckck, Nad, kata-katamu menusuk sekali," Dafni berdecak dan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah terluka. "Menyerahkan tubuh, tidak perawan, masih murni. Apalagi, Nad? Kamu anggap aku apa? Aku temanmu, Nad. Berperasaanlah sedikit."
"Apa sih susahnya mengatakan "ya" atau "tidak", Dafni?" Nadia bertanya, tidak mengendurkan tekanannya. "Kamu bilang kita teman baik. Oke. Itu betul. Lalu kalau kita memang teman baik, apa susahnya kamu menjawab pertanyaanku dengan "ya" atau "tidak"?"
Dafni tidak menjawab. Matanya tajam memandang temannya. Perasaannya bercampur baur, kaget dan marah menjadi satu dengan perasaan sendu karena hatinya yang patah masih menganga.

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ujung Kenangan
RomanceDafni, seorang gadis yang telah menjalin cinta selama 4 tahun dengan kekasihnya bernama Jafar, bergulat dengan kenangan dan kerinduan akan pria itu setelah mereka putus hubungan. Kesedihan terus merundungnya selama berbulan-bulan dan dia tidak tahu...