Di Buang (1)

80 12 6
                                    

Saat gue putuskan  untuk menulis diary.

***

Di ruang BP yang pengap ini, gue hanya dapat mendengarkan orang dewasa saling menjilat satu sama lain.

"Terima kasih Pak, atas perhatiannya pada anak saya," bapak bangkit dari duduk disusul gue, "semoga Juny bisa berubah disekolahnya yang baru." Bapak meneruskan ucapannya.

Guru BP bernama Supratman itu tampak segan pada bapak yang memakai seragam tentara. Suprtaman menyodorkan amplop besar yang sepertinya berisi dokumen untuk kepindahan sekolah gue. Tanpa sepatah kata pun gue menerima amplop itu dan memasukannya kedalam tas.

"Kalau begitu saya dan anak saya pamit dulu." Gue mengikuti langkah bapak dan mencium tangan Pak Supratman, tentu dengan sopan dan santun untuk terakhir kalinya.

"Baik-baik di sana ya Juny, jangan tawuran dan bikin masalah terus di sana," ucap Pa Supratman sembari mengelus kepala gue. Jijik banget rasanya saat melihat manusia ini menjadi sangat baik. Tidak seperti biasanya ia memperlakukan gue seperti binatang.

Mata gue menyala menatap Pa Supratman untuk terakhir kali dan keluar ruangan aneh ini. Sepertinya ini adalah hari terakhir gue di ruangan dan sekolah ini.

***

Bapak berjalan gagah mendahului gue menuju mobil yang terparkir di samping pos satpam. Gue berjalan mengikuti langkah kakinya yang seperti orang sedang marah.

"Cepat masuk ke mobil!" Bapak teriak ke arah gue yang sontak membuat kaget dan menarik perhatian orang sekitar yang sedang berjalan di area tersebut.

"Mau kemana?" Tanya gue cuek.

"Cepat masuk!"

Saat ini gue malu. Mungkin di rumah gue masih terima diperlakuakan seperti ini, diteriakin. Orang-orang di sekitar rumah gue sudah terbiasa melihat gue diperlukan seperti ini. Ini di sekolah dan gue malu!

Dada gue naik turun menahan marah. Gue diem untuk sesaat menenangkan diri. "Saya ga ikut Pak, mau nongkrong aja di depan," jawab gue acuh.

Bapak yang dari tadi berdiri di samping pintu mobil terus menatap gue galak. Bapak berjalan beberapa langkah ke arah gue seperti hendak menyerang. Spontan gue berjalan langsung masuk ke dalam mobil untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.

***

Mobil berjalan mulus di jalan bebas hambatan. Gue tidak mau banyak komentar dan hanya menatap kosongnya jalan. Entah kemana mobil ini akan melaju tapi sepertinya hendak ke daerah Jakarta, dilihat dari beberapa petunjuk arah yang telah dilalui.

Gue melamun sambil terus memikirkan kenapa gue dibawa kesini? Apa gue hendak dibunuh dan dibuang di daerah Jakarta? Entahlah apa yang akan terjadi yang pasti ada sedikit rasa takut dihati ini.

BBRRUUUGHH...

Bapak memukul kepala belakang gue dengan sangat keras meninggalkan rasa sakit dan menyadarkan gue dari lamunan panjang ini. Mungkin ini jawaban dari ketakutan dihati gue.

"Kamu dengar bapak ngomong tidak?!?" Bapak berteriak ke arah gue dengan suara yang sangat keras.

Gue mendengus kesal. Mendengar nafas gue yang naik turun bapak melambaikan tangannya hendak menampar gue.

Langsung gue memasang tatapan yang mengisyaratkan 'berani lu nampar gue, gue abisin sekarang

Bapak menahan tangannya setelah melihat tatapan gue.

Bapak memberhentikan mobilnya di pinggir jalan dan mulai memasang wajah serius.

"Kamu gak cape seperti ini terus Juny? Bapak malu Juny, diperlakukan seperti ini terus sama kamu!"

"Tanya diri Bapak sendiri! " Gue balik teriak ke bapak.

Gue memejamkan mata berusaha tidur dan melupakan emosi yang sekarang melanda. Entah apa yang akan terjadi gue cuma berharap dibuang dalam keadaan hidup.

***

Terdengar suara mesin mobil dimatikan. Gue bangun dari tidur sembari mengumpulkan kesadaran. Ini dimana?

Hari sudah malam dan mobil berhenti di perumahan sederhana. Apa kita benar di Jakarta?

Bapak turun dari mobil menuju bak terbuka. Gue ikut turun dengan kebingungan. Gue sedikit menjauh dari bapak yang sepertinya hendak melemparkan sesuatu.

BLUUK

Bapak melemparkan 2 tas besar ke jalanan yang sepertinya berisi pakaian.

Gue hanya memperhatikan bapak dan terdiam. Gue terus diam sampai bapak sama sekali tidak menatap gue dan masuk kembali kedalam mobil.
Mesin mulai menyala dan gue mulai resah.

"Maksud bapak apa?"Gue bertanya atas semua kebingungan gue.

Bapak mengeluarkan amplop cokelat berisi uang yang cukup banyak dan melemparkannya ke hadapan gue.

"Jangan panggil saya bapak lagi, hubungan kita sudah berakhir sebagai keluarga." Itu bukan jawaban yang bukan gue mau.

Hening sesaat mengisi ruang diantara bapak dan gue. Seperti malam memberikan isyarat pada gue untuk tabah dan menahan emosi.

Bapak mulai menancap gas hendak pergi, meninggalkan gue. Gue menghadang laju mobil bapak.

"Stop! Kalau anda mau mengusir saya, berikan saya tempat yang layak!" Ucap gue formal pada Bapak Jujun Junaedi yang baru saja mengundurkan diri jadi bapak saya.

Hening lagi.

TIIIIIITTT

Bapak membunyikan klakson panjang yang sangat mengganggu ketenangan dan memekakkan telinga.

"Saya melemparkan pakaian anda tepat di depan rumah kakak kandung anda." Satu buah kalimat yang Bapak Jujun lontarkan dan langsung menancap gas meninggalkan gue tanpa perasaan bersalah.

Amarah gue tak terbendung lagi dan berusaha mengejar mobil yang mustahil terkejar.

"TERIMA KASIH UNTUK UANG YANG ANDA BERIKAN BAPAK JUJUN JUNAEDI!! SAYA AKAN GUNAKAN UNTUK PULANG KE BANDUNG DAN MEMBAKAR RUMAH ANDA DAN ISTRI MUDA ANDA! TUNGGU SAJA YA BANGSAT!!"


***

Juny & LalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang