Termenung

43 9 4
                                    

Agustus, 2006

Jam menunjukan pukul 3.00 dini hari. Gue duduk termenung di bangku taman sambil menatap teras dan jalanan kosong. Dibakarnya rokok putih lalu gue hisap dalam-dalam. Jakarta tidak sedingin Bandung malam ini dan malam kemarin. Kejadian gue di usir dari rumah cukup buat malu dan terhina. Pikiran itu menghantui gue semalaman sampai sekarang. Apakah kesalahan gue begitu mengecewakan? Apa bapak sudah bosan mengurus gue?

Rokok putih gue hisap dalam-dalam. Hembusan asap putih yang indah bersatu dengan angin sejuk yang damai. Sedamai jiwa gue saat ini.

Sudah lama gue gak pernah merasa sedamai ini, sebebas ini. Gue selalu merasa terkurung di dalam kerangkeng ke-tidak percayaan orang tua. Tak pernah ada rasa kepercayaan yang mereka berikan pada gue. Gue dikelilingin kecurigaan dari orang tua dan masyarakat sekitar.

Banyak perasaan yang gue rasakan semalam hingga otak dan hati ini kembali merenung, gue akhirnya sadar selama ini salah.

Buat ibu di surga sana, maafkan Juny bu. Buat abang yang sudah memberikan uluran tangannya terimakasih sangat, Juny tidak akan mengecewakan abang. Buat bapak dan mamah tiri yang udah buang Juny, menderitalah kalian.

Satu jam sudah gue merokok sambil ngopi di depan rumah sendirian. Makin lama duduk disini gue baru mulai ngerasa dingin. Gue bangkit dari kursi taman yang mulai terasa panas karena gue duduki.

Gue jalan keluar gerbang rumah melihat lingkungan sekitar. Beberapa motor sudah ada yang lewat, mungkin berangkat kerja. Jalanan masih sepi dan gue berjalan ditengahnya. Masih sembari menghisap batang rokok ke-lima gye menendang batu-batu kecil yang ada di jalanan.

Gue terus memperhatikan lingkungan sekitar, memang perumahan orang kaya sepertinya. Dilihat dari luas bangunan dan mobil yang terparkir di teras. Banyak duit juga si abang.

Di ujung jalan gue melihat perempuan berambut panjang diikat sedang berlari kearah gue. Dilihat dari pakaiannya yang sporty sepertinya sedang olahraga. Gue berjalan di araha yang sama dengannya agar bisa berpapasan saat dia mendekat. Perempuan itu mulai mendekat, wajahnya mulai terlihat. Cantik, matanya besar alisnya tebal seperti keturunan timur tengah. Kita semakin dekat, perempuan itu memperlambat langkahnya karena gue berada di depannya.

"Pagi," dia menyapa gue.

"Pa.. pagi," jawab gue gagap.

Perempuan itu benar-benar berhenti dihadapan gue. Tangannya menutupi hidung seperti tidak ingin mencium sesuatu. Matanya mengarah ke rokok yang sedang gue pegang. Dengan cepat gue menjatuhkan rokok yang tinggal setengah ke tanah dan menginjaknya.

"Adik Bang Juna ya?" Tanya perempuan itu ramah setelah gue mematikan rokok.

"I.. iya, ko tahu?"

"Oh, engga cuma nebak aja soalnya tadi malem kamu ada didepan rumah kan?"

Hah ni perempuan tahu gue semalam? Berarti dia lihat dong gue lagi ribut sama bapak.

"Eeh, ko bisa tahu semalam gue di depan rumah Bang Juna?" Tanya gue malu.

"Iya sebenarnya tadi malem itu gue lagi baca buku di ruang tamu terus denger ada orang teriak-teriak depan rumah Bang Juna, karena gue takut ya gue telepon aja Bang Juna" jawabnya sangat jujur.

Gue diam seribu bahasa. Malu gue perempuan cantik begini takut sama gue.

"Aku orangnya gak gigit ko," kata gue ngasal.

"Ha ha ha, iya ko percaya Bang Juna juga bilang di telepon waktu itu kalau lo adiknya."

"Syukur deh kamu percaya" jawab gue mulai tenang.

Dipikir-pikir waktu abang nyamperin gue itu dia kelihatan seperti bangun tidur. Wajar saja karena mungkin itu sekitar jam 11 malam.

"Oh iya rumah lo di mana?" Tanya gue.

"Itu yang sebelah kiri rumah Bang Juna, yang cat abu," jelasnya sambil menunjuk rumah yang masih terlihat oleh mata kita walau agak sedikit jauh.

"Oh, yang itu," balas gue, "eh kita kayanya belom kenalan deh?" Goda gue mencairkan suasana.

"Iya ha ha ha, nama gue Lala Kania, panggil aja Lala." Perempuan itu mengulurkan tangannya.

"Gue Juny, panggil aja Juny," gue meraih tangannya dan berjabat tangan.

Kita akhirnya saling berkenalan. Mulai sekarang gue panggil dia Lala. Anaknya manis dan enak diajak bicara.

Pagi ini gue akhirnya bertemu seorang teman. Perempuan cantik berkulit putih bermata besar bernama Lala Kania. Teman dari kalangan anak baik-baik, bukan tukang mabok. Gue pikir ini adalah awal yang baik. Dan secara kebetulan Tuhan kirim satu teman untuk menemani gue mengarungi jalan kebaikan. Mungkin saja, entah bagaimana kedepannya. Toh ini pertemuan pertama.

Juny & LalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang