XI Bahasa 1

40 4 2
                                    

Besoknya, ternyata gue benar-benar didaftarin sekolah sama Bang Juna. Walaupun sekolahnya beda sama Lala karena gue gak bisa daftar disekolahnya yang merupakan sekolah negri. Anak bermasalah seperti gue diterima dan dipercaya menginjakkan kaki disekolah saja harusnya sudah untung sekali. Tapi gue tetap bersyukur karena sekolah baru gue persis di samping bangunan sekolah Lala. Hanya benteng beton yang memisahkan kita.

"Baik-baik ya lu di sekolah, jangan buat onar. Nanti gue kepasar beli seragam sekolah lu." Ucap Bang Juna di depan ruang TU setelah selesai mengurus pendaftaran masuk gue.

"Santai aja lagi Bang, orang gue sekolah cuma sebentar."

Tanpa aba-aba kepalan tangan Bang Juna menghantam kepala belakang gue, "apa maksud lo?"

"Maksudnya, kan cu.. cuma setahun setengah lagi sekolahnya, kan sebentar banget itu heheh." Jawab gue cengengesan. Bang Juna yang mengerti maksud gue yang sebenarnya hanya komat-kamit ngedumel.

Ditengah keasikan para jantan mengobrol seorang guru perempuan yang terlihat masih sangat muda menghampiri gue dan Bang Juna. Ia memperkenalkan diri sebagai guru Bahasa Jepang bernama Megumi. Nama yang cocok untuk beliau yang kelihatan seperti orang Jepang asli.

"Saya Juna Bu Guru, abangnya Juny," bang Juna mengulurkan tangan mengajak Bu Megumi bersalaman.

"Saya Megumi Pak, wali kelas Juny di kelas nanti." Mereka saling berjabat tangan.

"Oh begitu, nitip anak soleh ini ya Bu"

Bu Megumi tertawa kecil "baik Pa, akan saya jaga dengan baik.

"Oh iya Bu, Ibu tahu bahasa Indonesianya i love you gak Bu?" Tanya Bang Juna yang bermaksud ngegombalin bu Megumi.

"Aku cinta kamu?" Jawab bu Megumi dengan polos dan mau saja ditipu si buaya satu ini.

"Ah saya juga cinta sama ibu mwehehe."

Bu Megumi yang mendengar ucapan Bang Juna merasa kaget tak percaya ada seorang wali murid yang berani melontarkan kata-kata rayuan padanya. Wajah bu Megumi berubah menjadi merah padam. Tangan bu Megumi terus mengipasi wajahnya yang merah agar cepat mereda. Gue hanya bisa geleng-geleng kepala gak ngerti lagi sama kelakuan abang gue yang satu ini. Tampak raut wajah penuh kebanggan dimuka mesum bang Juna.

"Mohon maaf sebelumnya Bu, boleh saya meminjam hp ibu buat menelpon hp saya?"

Bu Megumi merogoh tas kecil yang dijinjingnya dan mengeluarkan sebuah ponsel berwarna pink.

Nit nit nit not nit not nit nit

"Loh itu suara handphonenya Bapak?"

"Oh iya bener bu, ini hp saya," bang Juna mengeluarkan ponselnya dari saku.

Bang Juna lekas memberikan kembali ponsel bu Megumi yang tadi ia pinjam dan berterimakasih. Dibalas bu Megumi yang tersenyum menghargai bang Juna.

"Oh iya bu, nanti nomor ibu saya save dihandphone saya ya bu, itu no saya sudah saya simpanin di handphone ibu." Jelas bang Juna tanpa perintah. Bu Megumi mengecek ponselnya dan melongo. Wajahnya memerah lagi. Gue yang tak tahan melihat wali kelas gue digombalin bang Juna akhirnya mengambil tindakan serius untuk mengusirnya.

"Udah cepet pulang sana lu Bang! Bikin malu gue aja!"

"Kalau begitu saya pamit dulu Bu, mari."

***

Sebelum ke kelas, selama diperjalan Bu Megumi menjelaskan sedikit bagaimana kelas yang akan gue masuki. Kelas XI Bahasa 1. Ya, jurusan yang hanya memiliki satu kelas setiap angkatannya. Terdapat 40 siswa termasuk gue yang baru masuk.

Perbandingan siswanya seimbang antara laki-laki dan perempuan. Katanya gue bakalan duduk di bangku paling ujung kelas bersama anak perempuan yang sering sekali telat bernama Fuji. Karena teman sebangku Fuji yang dulu gak kuat malam-malam sering diajak main sama cowonya, masuk angin lah akhirnya.

"Harap tenang semuanya! Sekarang kita kedatangan teman baru, silahkan Juny." Bu Megumi mempersilahkan gue untuk memperkenalkan diri.

Saat gue masuk kelas gue hanya fokus pada meja yang bakalan gue tempati selama sisa waktu sekolah. Meja yang benar berada di pojok ruangan dekat dengan jendela. Tanpa memperdulikan tatapan-tatapan dari manusia yang penuh tanda tanya atas kehadiran gue. Terdapat empat jajar bangku yang berpasangan, dan dengan kebetulan tiga jajar bangku didepan gue diisi oleh pria-pria berpenampilan sangar. Wajahnya yang galak-galak, menatap gue sinis yang membuat gue sedikit risih.

"Perkenalkan, gue Juny. Asal Bandung."

Kelas mendadak hening sekali setelah gue memperkenalkan diri. Tunggu. Apa gue kenalannya kependekan?

Bu Megumi bertepuk tangan menghilangan keheningan, disusul anak-anak yang lain. Bu Megumi mempersilahkan gue untuk duduk dibangku yang ia tadi ceritakan.

Kreettt

Gue sedikit menyeggol meja saat berjalan ke arah bangku gue. Seseorang dari ke enam cowo sangar ini menangkir kaki gue.

"Sorry kaki gue gatel tadi ha ha ha." Disusul teman-temannya yang juga ikut menertawan gue.

Gue berusaha sebisa mungkin menahan emosi dan duduk dengan damai, gue sedang tidak ingin terlalu menarik perhatian.

Bu Megumi memulai pelajaran Bahasa Jepang yang kebetulan hari ini. Ia juga sempat bertanya apakah gue belajar Bahasa Jepang juga di sekolah lama, dan gue jawab iya. Karena gue sekolah dengan sangat mendadak jadi gue belum sempat mempersiapkan peralatan sekolah. Gue datang ke kelas saja cuma pakai seragam dan sepatu lama Bang Juna. Sepatu gue yang lama dipake buat mainan anjing polisi punya tetangga agar malam-malam kita pas ngopdut gak ribut dengan suara gonggongan anjing.

Atas nama keberuntungan, di kolong meja gue terdapat setumpuk buku tulis dan buku paket rapih sekali. Buku tulisnya banyak sekali yang kosong, hanya satu atau dua lembar tiap bukunya yang terisi. Tertulis nama Yuna Yudha di halaman depan bukunya.

Teruntuk seseorang bernama Yuna Yudha makasih banget ini bukunya, gue bakalan pake dengan sangat baik. Ucap gue dalam hati berterima kasih pada Yuna.

Karena gue juga gak bawa alat tulis dan di kolong meja ini gak ada alat tulis, maka gue memberanikan diri untuk meminjam pulpen ke bangku sebelah yang merupakan perempuan.

Gue mencolek meja anak itu,"boleh minjem pulpen gak?"

Anak dengan rambut panjang sebahu itu membalikan badan ke samping ke arah gue.
Matanya yang tadinya datar seketika membesar setelah melihat gue. Kedua tangannya refleks menutup setengah wajahnya yang terlihat kaget yang membuat gue kaget juga.

"Ga,, gak boleh ya?" Tanya gue lagi setelah kaget.

"Kamu orang China?" Kata pertamanya yang gue dengar. Gue menggeleng.

"Kamu orang Arab?" Gue menggeleng lagi.

"Kamu orang Eropa?" Gue menggeleng lagi dan lagi.

"Kamu orang Bali?"

"Jadi boleh minjem pulpen gak nih??" Jawab gue kesel. Bukannya dipinjemin malah diwawancara.

Anak cewek itu mengeluarkan pulpen yang tertempel foto dan namanya di pulpen dan mengulurkan tangan. "Kenalin gue Debby Gabriel."

"Juny" gue menjabat tangannya. Akhirnya Debby memberikan gue pulpen.

"Gue kira tadinya lo orang luar negri loh. Soalnya mata lo sipit banget, mancung banget lagi idungnya, gagah banget si rahang lo kaya orang eropa." Puji Debby yang membuat hidung gue seketika kehilangan lubangnya.

"Terus ya kulit lo itu eksotis gitu kaya orang Bali gimana gitu." Tambahnya lagi.

"He he he, makasih loh."

Selanjutnya Debby terus memuji ketampanan gue selama jam Bu Megumi berlangsung. Saat ini ada perasaan bangga campur aduk yang gak bisa gue ungkapkan pakai kata-kata. Perasaan gue seperti menggaruk ginjal yang gatel. Susah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Juny & LalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang